“Berdoalah, maka akan
aku kabulkan”.
Begitu katanya.
Di perjalanan ibadah
September lalu, saya lupa bahwa saya seringkali lapar ketika bangun tidur.
Tanpa pertimbangan, saya pergi ke masjidil haram tanpa membawa bekal apapun,
roti yang sebelumnya saya letakkan di tas juga saya pindah di meja sebelah
kasur. Karena perjalanan cukup jauh dari hotel ke dalam masjid – sudah dapat
diduga, perut saya memberi sinyal lapar (tentu saja).
Fyi, jarak hotel ke dalam masjidil
haram area dekat kakbah kira-kira 15-20 menit berjalan kaki.
Awalnya, saya abaikan sinyal
itu, saya anggap “halah mungkin karena jalan cukup jauh jadi rasanya agak
pusing”. Saya abaikan sinyal itu dengan terus berdzikir dan memandang
kakbah, saya pikir akan hilang dengan sendirinya. Tapi lama kelamaan sinyal
pusing makin bertambah, dalam hati saya teringat “ah ya, kalau saya berdoa barangkali
akan dikabulkan Allah, kan saya ada di masjidil haram – doa pasti lebih maqbul
(begitu ucap saya dalam hati)”.
Saya langsung mencobanya
walaupun tidak dengan keyakinan 100% (ya namanya juga coba-coba), saya bilang. “ya
Allah semoga ada yang memberi saya setidaknya sepotong kurma untuk mengganjal
perut yang lapar ini ya, atau, jika tidak ada yang membawa kurma, semoga air
zam-zam ini cukup mengganjal rasa lapar sampai nanti waktu makan hotel”.
Begitu kurang lebih doa saya.
Mungkin
sepele kedengarannya, tapi jika tidak berdoa – saya khawatir asam lambung saya kumat
dan ada kemungkinkan saya harus menahan kesakitan sepanjang jalan pulang.
Walaupun sebenarnya saya yakin juga Allah nggak bakalan bikin saya menderita di
rumahnya (masjidil haram) semacam itu. pikiran
kita kadang-kadang bekerja di luar track, mempercayai Allah sekaligus
menyangsikannya. Tapi memang begitulah manusia hhe.
Dengan
harap-harap cemas saya terus mengulang-ulang doa dalam hati. Kurma, kurma,
kurma.
Waktu
solat subuh masih kurang 15 menit. 5 menit saya tunggu, belum terlihat ada
kurma dimanapun, makin pusing & nyut-nyutan kepala saya. Saya berusaha tenang
dan berdzikir. 10 menit, 15 menit, sampai akhirnya adzan tiba – belum juga hilal
kurma terlihat. Saya sudah mulai gelisah karena perut rasanya tidak enak. Sampai
iqomah dikumandangkan belum juga ada tanda-tanda apapun dan begitulah akhirnya
25 menit berlalu tanpa terlihat kurma seperti sebelumnya. saya hanya terus
menerus menenggak air zam-zam yang saya bawa dalam botol aqua.
Saya
mulai bersiap mengikhlaskannya dan sedikit meragukan kualitas doa saya. Apakah
doa saya kurang spesifik ya? apa doa saya terlalu sepele? (ah tapi nggak
mungkin kan ya). Apa karna masih subuh ya jadi nggak ada yang laperan kayak
saya? kenapa kurmanya nggak dikabulkan ya ? dan begitu banyak kenapa atau dugaan-dugaan
lain di kepala saya.
Sampai
akhirnya waktu shalat subuh selesai, kami masih sempat menyelesaikan dzikir
sambil menunggu antrian keluar supaya nggak berdesakan. Anehnya, perasaan
lapar saya berangsur hilang. Dalam perjalanan pulang pun saya masih sempat mem-video
kan keadaan luar, berjalan santai, dan mampir di beberapa penjual baju keliling
yang menarik mata. Tidak kurang satu apapun tubuh saya & kekhawatiran saya soal
asam lambung tidak pernah terjadi (terima kasih ya Allah)
Saya
mulai mengevaluasi, apa kiranya kekurangan saya dalam berdoa kok tidak
dikabulkan, sampai pada jawaban – loh
itu terkabul juga kan ya. Doa saya dikabulkan sama Allah kok disadari atau
tidak. Yang saya lupa, doa saya adalah harapan saya dengan kata-kata pilihan
yang saya minta tapi pengkabulan dari Allah adalah kehendak Allah, mau mengabulkan
kurma atau air zam-zam.
Pada intinya meskipun tidak
diberikan kurma – air zam-zam itu sudah cukup mengganjal lapar (dan itu tanda terkabulnya
doa saya)
Saya berdoa, ya Allah semoga
ada yang memberi saya setidaknya sepotong kurma, atau, semoga air
zam-zam ini cukup mengganjal rasa lapar.
Kita seringkali lupa, saking
fokusnya pada sesuatu harapan – kita lupa ada doa lain yang juga kita sampaikan
dan ternyata itu cukup bagi kita. Jangan hanya fokus pada permintaan awal, tapi
di akhir juga. Banyak sekali doa-doa yang tidak kita panjatkan tapi tetap
diberikan Allah, sehingga rasanya mengabaikan hal tadi hanya karena fokus pada
kurma adalah kurang tepat.
Allah pasti mengabulkan doa kita,
bergantung kebutuhan dan kesiapan kita. Tentu saja bukan kita yang tau
ukurannya. Kita akan mengetahui hikmahnya di akhir.
Pelajaran dari sepotong
kurma ini, saya menjadi lebih peduli pada kualitas kata-kata dan doa yang saya
panjatkan. Jangan sampai kita fokus pada satu hal dan mengabaikan rezeki lain
yang Allah berikan. Kalau bisa, sampaikan doa yang jelas – detail – eksplisit dan
tidak pakai tapi ya hehe.
Dengan doa tadi, barangkali yang
kamu butuhkan saat itu sekedar air
zam-zam dan bukan sepotong kurma untuk dimakan. Selamat berpikir positif.
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida