Critical eleven sebuah review : NOVEL VS FILM

Sebelum bicara pada ranah inti, ada baiknya kita memaklumi dengan jelas bahwa selalu ada perbedaan imajinasi yang dituangkan dalam sebuah buku – dan kemudian diangkat ke dalam layar lebar. Ya, sudah pasti akan ada banyak perbedaan. Entah itu gambaran tokoh ideal, latar, atau jalan cerita itu sendiri. Untuk mendeskripsikan suatu keadaan, atau ekspresi yang terdapat dalam suatu tokoh novel tentu saja tidak akan selalu sama karena lagi-lagi persepsi dan ekspektasi pembaca jauh dari standar. Semua orang punya pikiran. Sehingga dari persepsi dan ekspektasi itu tidak dapat diseragamkan. Jadi saya jelas memahami bahwa kritik dan saran mengenai film yang diangkat dari suatu novel sudah pasti akan menuai banyak komentar, dan tulisan saya ini hendak memberikan review dari kacamata saya sebagai pembaca setia novel ika natassa – dan penonton filmnya.

Saya sungguh mengapresiasi IKA NATASSA sebagai penulis novel ini, gaya bahasanya yang mengalir – kadang saya seperti mengalami perasaan yaaanggg “ini gaya gue banget, bikin ngakak, dan yang paling parah bikin mesam mesem sendiri”, dan sederet kalimat indahnya dia yang simple membuat saya berekspektasi tinggi terhadap film ini.

Apalagi, pemainnya kece-kece bukan? Siapa yang nggak kenal reza rahadian? aktor yang beberapa tahun terakhir mengambil hampir seluruh porsi pemain laki-laki dalam suatu film. Aktor yang berulang kali masuk kategori awards dan bahkan memenangkannya. Sampai setelah saya melihat trailernya di instagram, dalam hati saya berniat begini “SAYA HARUS NONTON FILM INI, BANGET!”




Tapi lagi-lagi, suatu karya tidak akan lepas dari komentar, dari kritik dan saran, dan film ini tentu tidak luput dari sasaran. Berikut beberapa komentar yang bisa saya sampaikan :

1.   Pemain terlalu banyak, tapi minim dialog

Oke, kita bisa lihat sederet artis papan atas yang turut serta meramaikan rilis film ini dan roadshow di bioskop beberapa kota besar. Lihat saja reza rahadian, adinia wirasty, refalhady, revalina s. Temat, slamet rahardjo, widyawati, dan masih banyak lagi – siapa yang menyangkal kehebatan akting mereka semua? Tidak ada. Sekalipun ada beberapa artis baru, saya pikir seluruh yang berperan dalam film ini sudah punya riwayat yang menarik soal akting.

Tapi, yang saya sayangkan, kehadiran mereka cuman jadi bumbu manis pelaris marketing film. Mereka kehilangan karakter, sangat minim dialog. Oke bolehkah saya bilang kalauu film ini terlalu fokus kepada reza dan adinia saja?

Padahal banyak sekali scene yang seharusnya bisa jadi bumbu untuk menonjolkan kehebatan akting aktor/aktris lainnya dengan dialog yang bagus sebagaimana IKA NATASSA lancar menulis naskah novelnya. Dalam beberapa scene, hamish daud, mikha tambayong, refalhady, dan lain sebagainya tersebut ada dalam gambar namun tidak sedikitpun membawakan dialog. Hanya diam, tersenyum, benar sebagai pemanis bukan? Saya pikir rugi rasanya sudah merekrut para cast yang begitu mumpuni tapi tidak memanfaatkan talentanya.

2.   Karakter tidak terlihat sebagaimana di novel

Mungkin saya naif dengan menyatakan hal ini, tapi karakter ALE yang seharusnya cool – tidak banyak bicara – penyayang, tidak saya dapatkan disini. ALE justru seperti mengambil karakter adiknya dalam novel (HARRIS) yang banyak bicara, periang, dan HARRIS justru yang jadi tidak banyak bicara.

Begitupun dengan ANYA yang seharusnya digambarkan sebagai perempuan muda/eksekutif muda yang kuat, berhati baja, justru tampak seperti wanita yang lemah – dan sensitif.  Abaikan penilaian saya jika ini salah, tapi karakter tersebut juga terjadi pada teman-teman ANYA, adik perempuan ALE.

3.   Jalan cerita banyak yang berubah dan tidak fokus

Mulai dari awal film dibuka, (cerita berlatar pesawat) adegan yang harusnya tidak sengaja tertidur di bahu ALE tidak diambil. Kelas pesawat justru dirubah dengan kursi super nyaman dan mereka hanya sekedar berbincang, padahal apa salahnya menggunakan latar pesawat ekonomi dan sesuai dengan jalan cerita? Rasa-rasanya akan lebih manis dan lucu gambaran tersebut jika dimasukkan sebagai pembuka cerita.

Kemudian kepindahan ANYA yang sebenarnya merupakan tugas kerja selama beberapa minggu berubah menjadi ANYA yang memutuskan berhenti kerja dan ikut suaminya ke New York. Oke mungkin ini masih bisa dimaafkan, tapi perubahan jalan cerita soal kejutan untuk ALE dari HARRIS oleh  ANYA benar-benar kurang greget. Ada beberapa miss dialog yang membuat penonton bingung, meskipun akhirnya paham karena ending tidak jauh berbeda dengan jalan cerita di novel.

4.   Pesan tidak dapat sampai secara jelas

Lagi lagi, akhirnya yang terpenting dalam suatu cerita, baik cerpen, novel, atau film adalah pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Sejauh yang saya rasakan, saya sulit menerima pesan dari film ini karena terlalu fokus mengamati terlalu banyak kekosongan dialog dalam cerita ini. Plot yang banyak berubah, karakter tidak terbangun secara jelas, meskipun chemistry pemain utama bisa dikatakan sangat baik. Tapi, bukankah pesan dalam suatu cerita yang sampai kepada penonton merupakan salah satu bentuk keberhasilan sutradara dan penulis skenario dalam suatu karya?

Terlepas dari beberapa kritik yang saya tuliskan di atas, tulisan ini murni hanya hendak menyampaikan sudut pandang saya sebagai salah satu penonton dan penikmat setia tulisan IKA NATASSA. Sudah pasti pendapat saya bukan menjadi pendapat umum, mungkin sebagian ada yang menikmati – dan sebagian lagi hanya merasakan sedikit kekurangan dalam film. Lebih dari itu, saya berharap semoga film-film yang diambil dari novel siapapun akan menjadi lebih baik ke depannya dan tentu saja saya bisa ketularan jadi penulis yang kece, salah satunya IKA NATASSA. Lagipula, ekspektasi yang terlalu tinggi kadangkala tidak terlalu baik untuk sebuah karya. Ada baiknya suatu karya yang kita kritik, membuat kita sadar – mereka sudah membuat karya, sementara kita masih berkutat pada mengomentari karya dan itu-itu saja.

Salam dangdut.


Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida