Salah seorang teman saya, sebut
saja X, satu ketika sedang bepergian jauh dengan saya ketika berpuasa. Sayangnya,
ketika waktu shalat sudah tiba dia tidak segera bergerak, bahkan sampai waktu
shalat hampir berakhir - dia berkata aku nanti aja ya lagi repot buka”. Saya diam tersenyum walaupun dalam hati ingin memberi pendapat, makan bukan alasan pembenar untuk jamak atau meninggalkan shalat. Begitu kata hati kecil
saya
Mendengarnya perlahan saya
tiba-tiba tersadar, siapa saya yang boleh menilai perangainya ? siapa
saya berhak menilai dia benar atau salah ? apakah karena saya yang sudah
bergerak inisiatif dulu lantas menjadi pantas untuk menilai keputusannya benar
atau salah ? apakah hanya karena saya lebih dulu shalat membuat saya lebih
pantas dan lebih suci dibanding teman saya tadi ?
Saya terkesiap. Ternyata, godaan
terbesar manusia bukan dari orang lain, tapi dari hati kecilnya sendiri. Hati
kecil yang selalu merasa lebih baik, lebih pantas, lebih beriman dan lebih
segala hal dibanding lainnya. Padahal, bisa jadi tidak begitu di mata Allah.
Allah telah mengingatkan kita dalam QS An-Najm 53:32 bahwa, “Jangan
engkau mengganggap dirimu paling baik atau suci, sesungguhnya Allah lebih
mengetahui siapa orang yang paling bertakwa”.
Tafsir dari ayat ini menurut Syaikh Abdurrahman As-Si’di adalah bahwa,
orang beriman dilarang untuk mengabarkan kepada orang lain bahwa dirinya suci dalam
bentuk memuji diri sendiri (Tafsir Karimir Rahman). Arti memuji diri
sendiri dapat juga berarti menghinakan atau menganggap orang lain lebih rendah - kurang - buruk. Allah
melarang kita memuji diri dan membanggakan amal sendiri.
Perbuatan tersebut termasuk tipu daya setan kepada manusia. Salah satu
sifat iblis (setan) Adalah merasa lebih baik daripada nabi Adam ketika diminta
Allah (Sang pencipta) untuk tunduk kepada Nabi Adam (QS. Al-A’raf: 12), sehingga
penting bagi kita untuk berhati-hati daripadanya karena iblis sudah berjanji
untuk akan terus menerus menyesatkan manusia, “Demi kekuasaan Engkau, aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Mu yang Mukhlis diantara
mereka” (QS Shad 82-83)
Perasaan lebih baik tadi, kadang kala menjelma dalam bentuk sombong
karena mengendarai kendaraan lebih mahal – lebih baru – lebih keren. Kadangkala
menjelma karena memiliki uang berlebih sehingga tega berkata kasar dan sombong
kepada sesamanya. Kadangkala ia menjelma dalam bentuk merasa lebih disayang
Allah karena dimudahkan dalam menunaikan ibadah yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Kadangkala, ia menjelma dalam bentuk rasa lebih soleh dan khusyuk dalam beribadah
sehingga menyepelekan ibadah orang lain.
Begitu banyak bentuknya yang harus kita waspadai, sesungguhnya, hanya
Allah lah yang mengetahui hati manusia – mari kita jaga sebisanya.
Bisa jadi Allah memberi kita kendaraan bagus – uang yang lebih banyak
– dimudahkan sedekah umroh dan haji – dimudahkan ibadah amaliah bukan karena amalan
kita diterima dan lebih disayang daripada yang lainnya, tapi karena dosa kita
lebih banyak dan Allah ingin kita segera membersihkannya. Bisa jadi segala
kemudahan itu bentuk lain ujian kita apakah kita layak nanti menghadap kepada-Nya.
Segala sesuatunya, tidak lepas dari hisab-Nya.
Dalam salah satu petuahnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Jika Allah
Ta’ala membukakan untukmu pintu shalat malam, jangan memandang rendah orang
yang tertidur. Jika Allah membukakan untukmu pintu puasa (sunah), janganlah
memandang rendah orang yang tidak berpuasa.“Dan jika Allah membukakan untukmu
pintu jihad, maka jangan memandang rendah orang lain yang tidak berjihad.
Sebab, bisa saja orang yang tertidur, orang yang tidak berpuasa (sunnah), dan
orang yang tidak berjihad itu lebih dekat kepada Allah ketimbang dirimu.”
Jika suatu saat perasaan itu muncul di hati dan pikiran kita, pikirkan
lagi bahwa segala kemudahan itu dapat diminta kembali oleh Allah sebagaimana Allah memberikan ujian
bagi yang lainnya. Jangan merendahkan orang lain, jangan berkata kasar, jangan berprasangka buruk, jangan merasa paling baik, dan jangan sibuk melihat pada orang lain - lihatlah pada
diri sendiri, nilailah dirimu sendiri, nilailah amalmu sendiri. Hatimu yang jadi ukurannya. Semoga Allah menjaga kita dalam lindungan dan petunjuk-Nya.
Yang terakhir,
Imam Ibnu Hazm ra pernah berkata, “Barangsiapa
diberikan musibah berupa sikap berbangga diri, maka pikirkanlah aib dirinya
sendiri. Jika semua aibnya tidak terlihat sehingga ia menyangka tidak memiliki
aib sama sekali & merasa suci, maka ketahuilah sesungguhnya musibah dirinya
tersebut akan menimpa dirinya selamanya. Sesungguhnya ia adalah orang yang
paling lemah, paling lengkap kekurangannya & paling besar kecacatannya.”
(Al-Akhlaq wa as-Siyar fii Mudawah an-Nufus, Ma’alim fii Thoriq
Thalab al-Ilmi).
Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida