FATWA ULAMA TENTANG KLONING, ABORSI, BAYI TABUNG.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat, hidayah, kasih sayang dan barokah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “FATWA ULAMA TENTANG BEBERAPA ISU AKTUAL ” ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita, Rasullullah Muhammad SAW sebagai pembawa revolusioner sejati, beserta keluarga, para sahabat dan umatnya sampai hari kiamat, Amin.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Study Islam di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih pemikiran serta intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan makalah ini

PEMBAHASAN


A. Fatwa Tentang Kloning

Kloning bukanlah hal yang baru. Percobaan kloning telah dilakukan pada 1950-an. Seiring waktu, kloning kian maju. Institut Roslin, Skotlandia, pada 22 Februari 1997 mengumumkan keberhasilan dalam mengkloning domba Dolly, mamalia pertama yang berhasil dikloning dari sel dewasa. Pada 27 Maret 2007, para ilmuwan Korea Selatan juga mengumumkan keberhasilannya mengkloning serigala langka. Mereka merupakan tim peneliti yang sebelumnya berhasil mengkloning anjing jenis afgan dan pudel. Pada November 2007, dunia dikejutkan oleh para ilmuwan Oregon yang menyatakan berhasil mengkloning embrio kera dan mengekstraknya dalam sel induk, yang sangat potensial untuk penelitian kloning manusia.

Lalu bagaimana hukum Islam memandang kloning?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI MUI di Jakarta pada tahun 2000 telah menetapkan fatwa tentang kloning. Dalam fatwa bernomor: 3/Munas VI/MUI/2000 itu para ulama menetapkan kloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang dapat berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram.
Namun, para ulama membolehkan kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan. “Kloning terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan hukumnya boleh (mubah) sepanjang dilakukan demi kemaslahatan dan atau untuk menghindarkan hal-hal negatif,” demikian fatwa yang ditandatangani Ketua MUI Prof. Umar Shihab itu.

Dalam fatwanya, MUI mewajibkan kepada semua pihak terkait untuk tidak melakukan atau mengizinkan eksperimen atau praktik kloning terhadap manusia. MUI juga mewajibkan kepada para ulama untuk senantiasa mengikuti perkembangan kloning serta menyelenggarkan kajian-kajian ilmiah untuk menjelaskan hukumnya.

Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) pun telah menetapkan fatwa tentang kloning gen pada tanaman, hewan dan manusia dalam forum Bahtsul Masail Diniyah, Munas NU yang digelar pada 17-20 November 1997 di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, para ulama NU menyatakan, pemanfaatan teknologi kloning gen pada tanaman diperbolehkan, demi kemaslahatan hajat manusia. Lalu bagaimana dengan kloning pada hewan? Ulama NU menegaskan, kloning pada hewan juga diperbolehkan dengan catatan dilakukan untuk kemaslahatan yang dibenarkan syariat.

Sama dengan fatwa MUI, ulama NU juga secara tegas mengharamkan kloning pada manusia. Apa alasannya? “Proses tanasul (berketurunan) harus dilakukan melalui pernikahan secara syar’i” demikian bunyi fatwa ulama NU.

Selain itu, para ulama Nu juga berpendapat bahwa kloning gen manusia juga bisa mengakibatkan kerancuan nasab. “Penanaman kembali ke dalam rahim tidak dapat dilakukan tanpa melihat aurat besar”, papar ulama NU menegaskan larangannya terhadap upaya kloning pada gen pada manusia.

Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya Fatwa-Fatwa Kontemporer juga telah membahas hukum kloning yang kian marak dilakukan sejumlah ilmuwan di dunia. Menurut Syekh al-Qardhawi, pada dasarnya Islam menyambut baik perkembangan ilmu pengetahuan dan riset ilmiah.

“Namun, dalam Islam, ilmu pengetahuan sama seperti halnya amal perbuatan, perekonomian, perpolitikan dan perang. Semua harus terikat oleh nilai-nilai agama dan etika,” papar Syekh al-Qaradhawi. Menurut dia, Islam tidak menerima ide pemisahan antara hal-hal tersebut dari agama dan etika (akhlak).
Syekh al-Qaradhawi, menyatakan, kloning gen pada manusia haram hukumnya. Sebab, upaya itu akan mengakibatkan berbagai kerusakan.

Pertama, hilangnya sunnah tanawwu “hukum variasi” di alam raya. “Praktik kloning pada manusia bertentangan dengan akidah ini,” ujarnya menegaskan.
Kedua, bisa menimbulkan kerancuan hubungan antara orang yang dikloning dengan hasil kloningan. Kloning pada manusia juga dinilai bertentangan dengan sunnah berpasang-pasangan. “Kloning bukanlah menciptakan kehidupan baru, melainkan hanya menggunakan kehidupan yang sudah diciptakan Allah SWT pada mahluk-Nya”.
Syekh al-Qardhawi berpendapat bahwa ide kloningan telah memberikan kontribusi dalam menunjukkan kebenaran slah satu akidah agama yang sangat prinsip, yakni tentang hari kebangkitan dan kehidupan setelah mati.

B. Fatwa Tentang Bayi Tabung

Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sbb :

1. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.

2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.

Menurut salah satu putusan fatwa ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani suaminya. Menurut pendapat saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya:

Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS. 42:50)

(Silakan lihat buku Al-Lu’lu’ Al-Makin kumpulan Fatawa Syaikh Bin Jibriin hal 56.) Namun demikian ada fatwa lain yang dikeluarkan oleh majelis Mujamma’ Fiqih Islami. Majelis ini menetapkan sebagai berikut:

Pertama: Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
1. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
4. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.

5. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
Kedua: Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
1. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.

Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat. Wallahu a’lam. (Silakan lihat Mujamma’ Fiqih hal 34).
Sementara itu Syaikh Nashiruddin Al-Albani berpendapat lain, beliau berpendapat sbb : “Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.

Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).

C. Fatwa Tentang Aborsi

Baru-baru ini ada artikel bagus yang dimuat di hidayatullah.com Judulnya, “Darul Ifta’: Aborsi haram secara mutlak“. Fatwa ini menarik, sebab ditulis dengan judul “haram secara mutlak”. Padahal persoalan aborsi selama ini ada yang dilakukan karena alasan kesehatan (medical).

Darul Ifta’ Al Mishriyah, lembaga fatwa resmi Mesir mengeluarkan keputusan mengenai haramnya aborsi secara mutlak, baik itu dilakukan sebelum ditiupnya ruh kepada janin, maupun sesudahnya, baik janin dalam keadaan cacat ataupun normal. Kecuali jika kehamilan menyebabkan terancamnya nyawa si ibu.

Darul Ifta’ juga menjelaskan sebelumnya bahwa pengguguran janin setelah ditiupnya ruh, yakni setelah berumur 120 hari merupakan perbuatan yang diharamkan menurut kesepakatan ulama. Dan hal itu dihitung sebagai pembunuhan jiwa yang diharamkan.

Adapun pengguguran janin sebelum berumur 120 hari, Darul Ifta’ memilih pendapat yang mengharamkannya secara mutlak. Kesimpulan ini diperoleh setelah Darul Ifta’ mengkaji pendapat para fuqaha di berbagai madzhab. Kecuali dalam kondisi darurat, pengguguran boleh dilakukan jika dinilai keberadaan janin membahayakan kehidupan ibu yang mengandungnya. Dan hal ini dilakukan atas pertimbangan dokter yang terpercaya (tsiqah) dan terjaga kesalihannya (adl).

Darul Ifta’ menilai bahwa pengguguran janin sebelum berumur 120 hari atau sesudahnya merupakan perbuatan yang sama sama berdosa, baik janin dalam keadaan cacat atau normal. Mempertimbangkan bolehnya pengguguran, jika keberadaan janin mengancam kehidupan sang ibu karena melihat bahwa kehidupan lebih nyata dibanding kehidupan janin.
Penjelasan yang dipublikasikan dalam situs resmi Darul Ifta’ (11/4/02) ini merupakan jawaban kepada Lajnah As Syu’un As Sihiyah (Komite Urusan Kesehatan) dalam lembaga legislatif Republik Arab Mesir, atas permintaan penjelasan hukum aborsi ditinjau dari pandangan Syariat. Artikel di atas memberikan banyak informasi penting yang layak diketahui oleh setiap Muslim. Khususnya ketika kita berbicara tentang hukum aborsi. Informasi-informasi itu antara lain sebagai berikut:
(1) Fatwa di atas ialah fatwa resmi Darul Ifta’ Mesir. Kalau di Indonesia semacam fatwa MUI itulah. Kalau di Saudi ada Lajnah Daimah, komisi fatwa di bawah “MUI Saudi”. Sejak lama fatwa-fatwa Darul Ifta’ dihargai di Dunia Islam, bahkan termasuk salah satu otoritas fatwa yang berpengaruh besar.
(2) Secara umum, aborsi dibedakan atas 2 kondisi: Aborsi sebelum janin berusia 120 hari (umur 0-120 hari) dengan sifat belum ditiupkan ruh ke atas janin tersebut; dan aborsi setelah janin berusia di atas 120 hari dengan sifat sudah ditiupkan ruh ke janin tersebut. Dua kondisi ini berbeda.

(3) Hukum melakukan aborsi, setelah janin berusia 120 hari (setelah ditiupkan ruh padanya), haram mutlak, menurut pendapat jumhur ulama. Tidak ada toleransi padanya. Membunuh janin dalam kondisi seperti itu sama saja dengan membunuh jiwa manusia.
(4) Hukum melakukan aborsi bagi janin di bawah usia 120 hari juga haram. Namun dalam kondisi darurat aborsi boleh dilakukan, demi menyelamatkan nyawa ibu yang mengandung janin. Alasannya, menyelamatkan ibu janin yang sudah hidup lebih diutamakan, daripada menyelamatkan janin dalam kandungan. Dengan syarat, keputusan aborsi dilakukan atas pertimbangan dokter yang terpercaya (secara profesi) dan shalih (secara moral).

(5) Secara umum, aborsi apapun alasannya, dalam fase yang manapun, adalah perbuatan dosa. Tidak peduli janin yang dikandung itu normal atau cacat. Tetapi ada kalanya, aborsi boleh dilakukan jika keberadaan janin tersebut dikhawatirkan bisa membahayakan jiwa sang ibu.Kalau disampaikan dalam bahasa yang mudah, kira-kira sebagai berikut:
“Aborsi terhadap janin yang berusia di atas 120 hari, yaitu ketika janin tersebut sudah ditiupkan ruh padanya, haram dilakukan. Hal itu sama saja dengan membunuh jiwa manusia, sebab janin tersebut sudah berjiwa. Namun dalam kondisi tertentu, aborsi pada janin dengan usia di bawah 120 hari boleh dilakukan, yaitu atas pertimbangan medis yang terpercaya.”
Di antara realitas-realitas yang belum tercakup dalam fatwa di atas, antara lain:
a. Kondisi seorang ibu yang sulit mendapatkan anak, lalu dia berusaha dengan berbagai cara (yang halal) untuk memperoleh anak. Namun setelah mengandung, ia divonis oleh dokter “tidak boleh mengandung”, karena dikhawatirkan membahayakan jiwa sang ibu.
b. Kondisi seorang ibu yang sudah hamil di atas 4 bulan (120 hari), namun oleh vonis dokter ia dinyatakan “tidak boleh hamil”. Apakah boleh melakukan aborsi dalam kondisi itu?

c. Kondisi seorang ibu yang sangat memuliakan janin dalam rahimnya, lalu dia rela mati seandainya hal itu harus terjadi, demi kelahiran anaknya. Dia meyakini, meninggal karena melahirkan adalah meninggal syahid.
d. Kondisi seorang gadis yang diperkosa oleh laki-laki bejat, lalu dia mengalami kehamilan.
e. Kenyataan yang banyak terjadi, bahwa rekomendasi dokter bersifat sangat relatif. Kadang benar, kadang salah. Apakah petunjuk dokter itu merupakan batasan yang bersifat mutlak?
f. Bahwa proses aborsi merupakan bentuk tindakan medik yang sangat rumit, bahkan berbahaya, jika tidak dilakukan oleh para ahli yang profesional dan dapat dipercaya. Kenyataan selama ini (di Indonesia) banyak wanita mati karena aborsi yang gagal.
Bagaimana kita akan mengatakan, bahwa hukum haram dalam aborsi itu bersifat mutlak? Juga bagaimana kita akan mengatakan, bahwa petunjuk dokter bisa mengesahkan tindakan aborsi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain, seperti kerelaan ibu pemilik janin, wewenang ayah janin itu, doa keluarga mereka, dan lain-lain?

Berikut ini catatan-catatan tambahan yang bisa saya sampaikan:

[a] Aborsi yang dilakukan terhadap korban perkosaan yang usia janin-nya masih di bawah 120 hari, hal itu boleh dilakukan. Alasannya, kalau kelak anak hasil perkosaan itu lahir, dengan tiada satu pun laki-laki yang bersedia mengakui anak tersebut sebagai anaknya, hal ini akan melahirkan kerusakan sangat besar. Sang ibu akan mengalami trauma besar, sang bayi akan dibenci oleh ibunya sendiri, juga terjadi kerusakan nasab (jalur keturunan) dari anak hasil perbuatan perkosaan. Menggugurkan janin yang belum bernyawa, bisa diibaratkan seperti melakukan amputasi atas sebagian anggota tubuh manusia, demi menyelamatkan hidupnya. Dalam kasus serupa, seperti seorang gadis yang dihamili secara paksa oleh ayahnya sendiri, atau pamannya.

[b] Aborsi dalam poin “a” yang dimaksudkan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, hanya bisa dilakukan secara legal melalui instrumen medism resmi, dijamin secara hukum, dan dilakukan dengan tindakan operasi yang aman dan menjamin keselamatan wanita yang mengandung janin. Jika janin itu digugurkan dengan cara-cara ilegal dan tradisional yang membahayakan jiwa seorang wanita, HARAM dilakukan. Lebih baik seorang wanita mengandung janin itu sampai melahirkan, daripada dirinya mati karena proses aborsi yang tidak bertanggung-jawab.

[c] Aborsi yang dilakukan terhadap korban perkosaan yang usia janin-nya lebih dari 120 hari, hukumnya HARAM secara mutlak, sebab sang janin sudah memiliki ruh (jiwa). Berbagai kesusahan yang terjadi karena kelahiran anak hasil perkosaan, masih lebih ringan daripada membunuh jiwa seorang manusia. Apapun resikonya, kalau janin sudah di atas 4 bulan (di atas 120 hari), ia harus diselamatkan sampai lahir. Nanti setelah lahir, bayi tersebut bisa dirawat oleh negara atau panti asuhan, bila ibunya tidak ridha atas kelahiran bayi itu.

[d] Hendaklah pertimbangan dokter untuk memutuskan, apakah seorang ibu yang hamil harus menjalani aborsi atau tidak, tidak dijadikan pertimbangan utama. Harus juga didengar bagaimana pandangan sang ibu janin, sang ayah, keluarganya, dan pihak-pihak lain. Siapa tahu, dengan memohon doa kepada Allah dan kesungguhan keluarganya mengusahakan kebaikan ibu dan janinnya, Allah selamatkan jiwa ibu sekaligus anaknya. Aborsi dilakukan harus benar-benar atas KERELAAN hati sang ibu dan ayahnya. Jangan semata-mata karena pertimbangan medis saja.

[e] Fatwa terkait dengan aborsi janganlah menghalangi niat sebagian ibu-ibu Muslimah untuk berjihad dalam proses kelahiran. Jangan karena masalah medik sedikit saja, langsung divonis “tidak boleh hamil”. Toh, sebagian ibu-ibu Muslimah ada yang wafat ketika melahirkan, meskipun tidak ada vonis “tidak boleh hamil” dari kalangan dokter. Wafatnya seorang Muslimah demi melahirkan hamba-hamba Allah, insya Allah syahid.
[f] Jika usia janin sudah di atas 7 bulan, dimana janin itu sudah bisa hidup di muka bumi dalam keadaan premature, maka tindakan aborsi haram dilakukan. Kalau ada kekhawatiran tentang keselamatan sang ibu dan janinnya, bisa ditempuh cara kelahiran dengan metode Cesar.

D.Fatwa Tentang KB.

Keberadaan Keluarga Berencana dipandang dari Hukum Islam diperbolehkan. Bukan hanya fatwa MUI, Mufti Besar Yordania juga mengeluarkan fatwa yang menganjurkan Keluarga Berencana. Mufti Mesir, Syekh Salim mengeluarkan fatwa pada tahun enam puluhan yang mengizinkan baik suami maupun istri dengan persetujuan masing-masing istri atau suaminya untuk berdaya upaya mencegah jatuhnya air mani ke dalam rahim agar jangan terjadi kehamilan. Imam Mesjid Delhi yang terkenal juga menganjurkan atau mengizinkan penggunaan alat kontrasepsi.

Diperbolehkannya penggunaan alat kontrasepsi disimpulkan dari perbuatan senggama terputus oleh sementara orang di zaman Nabi. Dan izin untuk menggunakan IUD adalah kelanjutan modern dari cara-cara tradisional senggama terputus. Akan tetapi pada tahun 1971 penggunaan IUD dilarang disebabkan karena pemasangannya menyangkut melihat bagian pribadi wanita (aurat), dan larangan itu secara metodologi digolongkan sebagai “hurrima li zatihi” (dilarang karena zatnya). Hosen mengatakan bahwa garis dalil ini harus diubah, karena melihat aurat tidaklah dilarang bila yang melihatnya adalah suaminya sendiri. Jadi melihat aurat itu sendiri dilarang bukan karena soal melihat (li zatihi), tetapi sebagai pencegahan terhadap pelanggaran selanjutnya yakni perbuatan zina.

IUD oleh para ahli dianggap sebagai salah satu alat kontrasepsi yang paling efektif dan yang paling murah. Seperti fatwa MUI tentang penggunaan IUD dibenarkan, asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau dalam keadaan tertentu, oleh dokter lelaki dengan dihadiri kaum wanita lain atau si suami pasien. Kemudian ada pernyataan tentang diizinkannya penggunaan IUD adalah penarikan kembali (pembatalan fatwa yang dikeluarkan tahun 1971). Jadi IUD diperbolehkan dalam hukum agama Islam.
“Keluarga Berencana” adalah solusi untuk menjaga jarak angka kelahiran agar tidak terjadi jumlah peledakan penduduk, juga untuk menjaga kesehatan anak dan ibu.


Daftar Pustaka
http://icareabouthealthy.blogspot.com/2010/12/hukum-kloning.html (Minggu, 05 Desember 2010).
file:///H:/TUGAS%20SEM%201/FATWA%20ISU/BAYI%20TABUNG/Fatwa%20Bayi%20Tabung%20%C2%AB%20Yusuf%20Yudi%20Prayudi.htm (Yusuf Yudi Prayudi, 29 Oktober 2007).
file:///H:/TUGAS%20SEM%201/FATWA%20ISU/ABORSI/Fatwa%20Tentang%20ABORSI%20%C2%AB%20Pustaka%20LANGIT%20BIRU.htm.
Miftachudin, 22 Oktober 2010.


Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida