Mahram dalam islam

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada dasarnya dalam kehidupan manusia semua diwajibkan atas mereka untuk membangun bahtera rumah tangga ataupun yang biasa disebut dengan perkawinan. Yang mana kata kawin menurut istilah hukum islam sama dengan kata nikah atau kata zawaj, yang dinamakan nikah menurut Syara’ ialah “ akad (ijab qabul) antara wali calon isteri dan calon mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi syaratnya”. Dalam suatu pernikahan terkadang ada kendala ataupun penghalang suatu pernikahan yang biasa disebut dengan “MAHRAM“ sedangkan Mahram yaitu adalah larangan, yang dimana suatu wanita yang ter larang mengawininya.
Adapun Mahram yang dilarang oleh agama ialah karena keturunan (nasab), karena mengawini seorang wanita (mushaharah), karena sesusuan. Dari penghalang-penghalang perkawinan itu juga terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu pada pasal 8,9 dan 10 Undang-Undang No 1Tahun 1974. Dan hukum perkawinan merupakan bahagian dari hukum islam yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hal ihwal perkawinan, yakni bagaimana proses dan prosedur menuju terbentuknya ikatan perkawinan.

Rumusan Masalah
• Apa pengertian dan dasar hukum Mahram?
• Bagaimana klasifikasi dan konsekuensi hukum mahram


PEMBAHASAAN
A. Pengertian Mahram
Istilah mahram (مَحْرَم) berasal dari makna haram, yang maknanya adalah wanita yang haram dinikahi.
Harus dibedakan antara mahram dengan muhrim. Kata muhrim berasal dari bentukan dasar ahrama-yuhrimu-ihraman (أحرم – يُحْرِمُ - إِحْراماً), yang artinya mengerjakan ibaah ihram. Dan makna muhrim itu adalah orang yang sedang mengerjakan ibadah ihram, baik haji maupun umrah.
Salah satu faktor yang paling menentukan dalam urusan boleh tidaknya suatu pernikahan terjadi adalah status wanita yang menjadi pengantin. Bila wanita itu termasuk yang haram untuk dinikahi, maka hukum pernikahan itu haram. Dan sebaliknya, bila wanita itu termasuk yang halal untuk dinikahi, maka hukumnya halal.

Kata “Mahram“ berarti: yang terlarang, suatu yang terlarang maksudnya ialah wanita terlarang mengawininya. Menurut hukum islam, hal-hal yang menjadi sebab keharaman perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan disebut penghalang-penghalang perkawinan (mawaani’un Nikah). Penghalang perkawinan ialah “ pertalian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atau keadaan pada diri seorang laki-laki atau seorang perempuan, yang karena pertalian atau keadaan tersebut hukum islam mengharamkan orang dimaksud melakukan akad perkawinan ”. Sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan dalam pasal 8,9 dan 10 undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, ataupun kesamping, berhubungan semenda, sesusuan, dan seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Mahram artinya orang yang tidak halal dinikahi atau dikawininya. Sebenarnya antar keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat bagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talaq dari suaminya atau wanita kafir non kitabiyah (wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperti majusi, hindu, buddha).


B. Klasifikasi Hukum Mahram
Tentang siapa saja yang jadi mahram para Ulama' membaginya menjadi 14 macam dan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar antara lain:
• Tujuh orang dari pihak turunan (Nasab):
1. Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak dan seterusnya sampai keatas
2. Anak kandung (وَبَنَاتُكُمْ) dan cucu smpai ke bawah
3. Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak atau seibu saja.
4. Saudara perempuan dari bapak
5. Saudara perempuan dari ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya
7. Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya
• Dua orang dari sebab menyusu
1. Ibu yang menyusuinya
2. Saudara perempuan yang sepersusuan
• Lima orang dari sebab perkawinan atau Musaharah (مُصَاهَرَة)
1. Ibu dari istri (mertua)
2. Anak tiri apabila sudah campur dengan ibu nya
3. Istri dari anak (menantu)
4. Istri bapak (ibu tiri).

Allah subhanahu wata’ala berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak wanitamu, saudari-saudarimu, saudari-saudari wanita ayahmu, saudari-saudari ibumu, anak-anak wanita dari saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak wanita dari saudara-saudara wanitamu. ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa' : 23)
Kita dapat membagi klasifikasi tentang wanita yang haram dinikahi berdasarkan hubungan kemahraman, agama dan juga mantan pezina. Para ulama membagi wanita yang merupakan mahram menjadi dua klasifikasi besar, mahram yang bersifat abadi (مُؤَبَّد) dan mahram yang tidak abadi (غَيْرُ مُؤَبَّد) alias sementara.
Yang termasuk dalam “tahrim muabbad“, ialah yang terlarang karena keturunan (nasab), karena mengawini seorang wanita (mushaharah) dan karena sesusuan (radlaa’ah).

Yang termasuk didalam terlarang sementara (tahrim muaqqat) ialah:
• Pertalian talaq tiga
• Pertalian permaduan
• Keadaan jumlah bilangan isteri
• Keadaan berihram
• Keadaan menjalani iddah
• Keadaan ikataan perkawinan
• Keadaan kekafiran dan kemusyrikan
• Keadaan berzina
• Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka

Dan yang termasuk terlarang selama-lamanya (tahrim muabbad) ialah :
• Karena keturunan (Nasab)
• Pertalian semanda
• Karena sesusuan (radlaa’ah)
• Pertalian sumpah li’an.
Sedangkan istilah muabbad bermakna abadi, berkesinambungan, terus-terusan atau selamanya, dan makna ghairu muabbad adalah lawanya, yaitu untuk sementara waktu, temporal, limited, dan terbatas waktunya. Sewaktu-waktu bisa berubah keadaannya.
Maka kedua istilah itu kita padukan menjadi mahram muabbad, artinya adalah hubngan kemahraman yang bersifat abadi, seterusnya tidak akan pernah berubah dan selama-lamanya. Sedangkan mahram gairu muabbad adalah lawanya, yaitu hubungan kemahraman yg bersifat sementara, temporal, bisa saja berubah dan tidak abadi.

C. Konsekuensi Hukum Sesama Mahram
Hubungan kemahraman dalam daftar di atas yang muabbad maupun yang gairu muabbad, sama menghasilkan konsekuensi hukum lanjutan, selain tidak boleh terjadinya pernikahan. Diantaranya adalah :
1. Kebolehan khalwat (berduaan) antara sesama mahram
2. Kebolehan berpergian seorang wanita dalam safar atau berpergian lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya
3. Kebolehan melihat sebagaian aurat dari wanita mahram, seperti kepala, tangan, rambut dan kaki.
Hadist Rasulullah SAW menerangkan bahwa haramnya karena susuan seperti haram karena keturunan. Diterangkan bahwa nabi Muhammad s.a.w. pernah diminta untuk mengawini anak perempuan pamannya, Hamzah, beliau bersabda:

Dasarnya adalah hadits riwayat Aisyah radhiyallahuanha :
كَانَ فِيمَا أُنْزِل مِنَ الْقُرْآنِ ( عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ) ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu ada ayat yang diturunkan dengan lafadz :Sepuluh kali penyusuan telah mengharamkan. Kemudian ayat itu dihapus dan diganti dengan 5 kali penyusuan. Dan Rasulullah SAW wafat dalam keadaan para wanita menyusui seperti itu. (HR. Muslim)
1. Susuan yang mengharamkan
Sodara yang mengharamkan ialah susuan yang dilakukan dalam waktu tertentu. Susuan yang sehisap dua hisap yang tidak mengharamkan sesuai dengan sabda Rasulullah S.A.W.
2. Air susu yang bercampur dengan benda atau cairan-cairan yang lain
“Menurut Hanafiyah air susu yang bercampur dengan benda atau cairan lain tidak mengharamkan, sedang syafi’iyah sebagimana pengikut-pengikut Malik mengharamkan”. Dalam hal ini yang menjadi sebab mengharamkan ialah air susunya sendiri, percampuran dengan benda yang lain tidak akan merubah sifat air susu tersebut. Karena itu air susu yang telah bercampur dengan benda-benda atau cairan yang lain, tetap mengharamkan. Hanya saja perlu ditetapkan ukuran atau berapa banyak air susu yang telah dicampurkan itu. Ukuran yang mempunyai dasar nash, ialah ukuran yang banyaknya sebanyak air susu lima kali hisapan.
3. Masa Menyusu
Para ahli fiqih sepakat bahwa masa menyusu seorang anak itu adalah dua tahun, bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan susuan anaknya. Berbeda pendapat para ahli fiqih akibat menyusukan seorang anak setelah lewat dua tahun. Jumur ulama fiqih termasuk didalamnya Imam Malik, Imam Syafi’I tidak mengharamkannya, sedangkan Daud Zahahiri dan Imam Abu Hanifah mengharamkannya.



D. Larangan Kawin Dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita :
1. Karena pertalian nasab
2. Karena pertalian kerabat semenda
3. Karena pertalian sesusuan.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasannya mahram itu adalah orang yang tidak boleh dinikahi atau dikawini dan hukumya haram sebelum adanya sebab-sebab yang nmenjadikan mahram itu dapat dihalalkan. Terkecuali 3 hal yaitu:
• Adanya nasab
• Adanya perkawinan
• Adanya penyusuan
Dengan adanya klasifikasi mahram ini dapat membantu umat muslim mengetahui manfaat mahram dan dampaknya. Karena jika diterapkan di dalam kehidupan kita, kemungkinan berkurangnya kemaksiatan di muka bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA
• Zahri Hamid, POKOK-POKOK HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA, Penerbit Bina Cipta, Yogyakarta 1993
• Abu Malik Kamal Bin As-Syahid Salim, Ensiklopedia fiqh wanita, cet. Pustaka ibnu Katsir
• Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM, Sinar Baru, Bandung, 1986
• Rabu, 06 Januari 2010 http://simson-ranau.blogspot.com 2010/01/ PEMBAGIAN MAHRAM SESUAI KLASIFIKASI
• UU RI NO 41 TAHUN 2004 ,KOMPILASI HUKUM ISLAM
• A. Hasan, SOAL-JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH DALAM AGAMA, CV Diponegoro, Bandung 1983
• Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA, Kencana, Jakarta 2006


Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida