PENTINGNYA MENJAGA LISAN

Ibnu Atha’illah al-iskandari berkata: “bukti kebodohan seorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui”.

 

Ali Bin Abi Thalib berkata, “apabila akal tidak sempurna, maka kurangilah berbicara”.

 

Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah dalam Ar Riyadhun Nadhirah dalam Majmu’ Muallafatis Sa’dy hlm. 224 berkata  “Siapa yang menyibukkan diri atau meluangkan waktunya untuk membicarakan aib-aib orang lain, maka orang lain pun akan menyibukkan dri untuk membicarakan aib-aibnya.”

 

Mengapa kita diperintahkan untuk menjaga lisan?

 

Acapkali lisan kita  menjadi sumber awal masalah. Sakit hati, kesalahpahaman, perseteruan, dendam, pemutus silaturahmi keluarga dan bahkan teman terdekat, dsb. Jika kita tidak memiliki kendali yang baik atas apa yang kita sampaikan, kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk lebih baik diam.

 




 

 

Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari bersabda, keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan. "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam."

 

 Jika kita menganggap bicara kita tidak benar, tidak bermanfaat, dan tidak membawa kebaikan maka hal yang lebih baik untuk kita lakukan adalah diam.  Persis seperti yang dilakukan oleh Socrates, sebelum memastikan apapun yang akan didengar, perlu kiranya kita menerapkan 3 (tiga) saringan, yaitu saringan kebenaran, kebaikan dan kegunaan.

1.    “Apakah Anda yakin bahwa apa yang akan Anda katakan itu benar?”

 

2.    “Apakah yang akan Anda katakan tersebut adalah sesuatu hal yang baik?”

 

3.   “Apakah yang akan Anda katakan tentang seseorang itu berguna bagi saya?”

Jika setelah tiga saringan tersebut anda tidak mendapatkan sesuatu yang benar, baik, dan bahkan tidak berguna bagi anda kenapa harus anda bagi kepada orang lain ? Perkataan yang tidak benar merupakan dusta anda kepada saudara anda, sementara jika itu benar maka dosa ghibah kita (dan bisa jadi akan ditimpakan kelak pada anda).

 

Dalam  kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan. “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan rasulnya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya? “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Kerapkali kita tidak menyadari betapa berbahayanya lisan kita menggunjingkan masalah orang lain, membicarakan aib orang lain, membumbui perkataan orang lain sehingga menyebabkan kesalahpahaman dan adu domba, bahkan secara tidak sadar merendahkan serta menghina orang lain. Dalam perkumpulan karena ada yang memancing kita ikut terpancing membicarakan keburukan orang lain. Padahal kita sendiri tidak pernah lepas dari keburukan. Kita memiliki aib yang ditutup oleh Allah agar tidak ditampakkan kepada manusia lain.


Begitu pentingnya menjaga lisan karena kita telah dianugerahi kelebihan akal untuk memilah mana yang pantas atau tidak pantas. Kita diberikan kemampuan berpikir salah satunya untuk hal tersebut. Tidak semua hal harus kita sampaikan, tidak semua kebenaran harus kita sampaikan, tidak semua yang kita tahu harus diketahui orang lain. Jauh daripada itu, segala sesuatu yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik. Dan itulah guna lisan kita, untuk menyampaikan kebaikan. Insya Allah.

Sedikit saja kita khilaf dan membiasakan hal tersebut maka bisa jadi kelak Allah akan membuka aib kita kepada manusia lain. Naudzubillah. Jika tidak baik, maka tahan. Jika tidak benar, maka tahan. Jika tidak berguna, maka simpan. Mari kita menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak baik dan dilarang oleh Allah. Lisanmu adalah kecantikanmu. 

 

 

Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida