“People change for 2 reasons, either they learned a
lot or they’ve been hurt much.”
2 hal tersebut cukup jadi alasan betapa semua manusia berubah.
Saya berubah, kalian berubah, kita berubah.
Pikiran, perasaan, Tindakan. Semua dalam hidup kita terus menerus
digerus perubahan. Keyakinan yang kita pegang dulu bisa jadi telah berubah sekarang.
Tidak berbeda dengan kalian, saya juga mengalaminya.
Prinsip yang saya pegang dulu jauh berbeda dengan sekarang. Kepribadian
saya, meskipun tidak bisa dibilang berubah 100% lebih baik, saya bisa menyebutnya
dengan bangga bahwa saya sedang menuju kesana.
Banyak sekali keyakinan dan kesimpulan terdahulu yang menurut saya terlalu
picik, atau bahkan terlalu dini untuk bisa disampaikan ke orang lain. Lebih dari
itu, saya merasa, mungkin saat itu saya masih kekanak-kanakan, masih terlalu
muda, belum bisa menjangkau banyak hal -
opini yang berbeda - perspektif yang berseberangan dan memang hanya sedikit
pengalaman.
Sewaktu saya smp dulu, saya beranggapan
bahwa orang tua saya kolot. Saya tidak perduli bagaimana orang tua lain.
Setau saya, dan terus saya tegaskan berulanng kali bahwa orang tua saya kolot,
sulit diajak berkomunikasi, saya hanya melihat orang tua saya gak modern, sulit diajak kompromi, meributkan hal-hal
sepele, sengaja berseberangan opini, melarang saya melakukan banyak hal dan
masih banyak lagi pikiran buruk yang terlintas di kepala.
Di mata muda saya, saya benar, orang
tua saya salah. Mereka tidak akan pernah mengerti saya. Kesimpulan itu membuat
saya menutup diri, menarik kesimpulan abadi dan tidak mau berupaya memperbaiki
kondisi.
Begitu melihatnya dari sudut pandang
orang yang lebih tua, sekarang saya mengerti, terlalu banyak kekhawatiran di
kepala orang tua, dan mungkin begitu pula di dalam isi kepala orang tua saya
dulu (atau bahkan masih sampai sekarang). Bagi mereka mungkin saya hanya anak
kecil yang akan terus mereka khawatirkan. Mereka mengkhawatirkan jika saya
begini, jika saya begitu. Sama halnya saya memperlakukan adik saya, tidak boleh
ini dan itu, meskipun saya merasa lebih rasional karena pernah berada di posisi
adik saya dan saya tidak mau mengulangi hal yang sama.
Sewaktu masih mahasiswa dulu, beberapa dosen terlihat seperti – menyulitkan,
rumit, riweuh dan menyebalkan. Tumpukan tugas berlebih, koreksi skripsi yang
memusingkan, nilai tugas yang tidak memuaskan, deadline tidak masuk akal, balas pesan
bimbingan lama, dan urusan lain yang menurut kepala sempit mahasiswa saya, “kenapa sih mereka ga bisa
respon cepet aja? Bukannya mereka juga pegang hp terus?”
Begitu mengalaminya sendiri, melihat
itu dari kacamata dosen, saya tau kenapa itu semua berubah menjadi hal yang
maklum dan wajar. Kebiasaan dan pengalaman yang didapat memang berbeda, itu
mengapa menurut mereka hasil kerjamu belum maksimal dan akan selalu bisa
ditingkatkan. Setelah mengalaminya sendiri, ternyata terlalu banyak pekerjaan
dan hal kecil yang harus diselesaikan, administrasi, bimbingan, jurnal, membuat
materi – soal – jawaban, dan bahkan harus membalas pesan mahasiswa (yang kadang
tidak tahu kalimat pembuka dan jam yang tepat unntuk menghubungi dosennya). Saya
menyadarinya sekarang, urusan itu terlalu banyak dan bahkan untuk membalas
pesan yang telah terbaca kapasitas otak manusia bisa lalai untuk melakukannya.
Menurut kacamata saya dulu, terlalu
banyak kesimpulan yang saya ambil seenaknya dari Kacamata kuda saya yang sempit
dan gelap.
Sewaktu masih
menjadi karyawan, saya hanya melihat
bahwa saya telah bekerja maksimal, rajin, on deadline, dan segala hal yang menurut hemat saya, sudah cukup. Bekerja dengan baik,
menyenangkan, bertemu orang baru, melakukan sesuatu hal, bermanfaat – but why
yang saya terima tidak cukup baik untuk semua pekerjaan baik saya? Tidak bisa
kah atasan berbelas hati menaikkan gaji, atau bonus-bonus yang menyenangkan
dari waktu ekstra yang saya gunakan untuk meng-handle seluruh pekerjaan?
Tidak bisa kah ini dan itu?
Sekarang begitu melihatnya dari sudut
pengguna jasa, saya akhirnya melihatnya sendiri, memahaminya, urusan klien, komunikasi
yang tidak berhenti, jadwal harian, list tugas karyawan, sederet
kewajiban operasional yang harus dikeluarkan, jam lembur yang tidak ramah
tenaga dan Kesehatan, waktu pribadi yang tersita, kepribadian yang terpaksa
harus disesuaikan demi kepentingan segolongan orang, segala printilan-printilan
keuangan kantor yang membuat kamu merasa bahwa yang mereka terima sudah lebih
dari cukup dibanding kinerjamu yang kadang hampir atau bahkan lebih dari 12 jam.
Terlalu banyak hal lain yang mereka tidak tahu dari laporan uang masuk yang berbunyi
di notif handphone kami. Mereka dan mungkin saya dulu, hanya tau bahwa
ada begitu banyak pekerjaan yang dilakukan tapi tidak pernah ada kenaikan
penghasilan.
Selalu ada pertanyaan “kenapa?
” di benak saya yang akhirnya kini terjawab alasannya. Kenapa dia begini,
kenapa dia begitu, kenapa harus begini, kenapa harus begitu.
Kepala kecil dan kacamata sempit yang
saya gunakan dulu ternyata sangat kecil dan itu membuat pandangan saya terlalu
tidak matang dan menyesakkan. Segala hal hanya terlihat dari kacamata yang
ingin saya lihat. Saya hanya melihat hal-hal yang ada di benak saya, dari
posisi saya, dari hal yang saya alami. Batasan saya.
Kini, saya tau jawabannya. Itulah
perspektif kita, itulah prinsip yang kita pegang.
Kini semua yang dulu absurd
dan gelap sudah terbuka perlahan. Jawaban atas setiap pertanyaan yang pernah
saya ajukan. Seolah-olah sudut pandang saya berkembang, meluas, melebar, saya dapat
melihat situasi yang tidak pernah saya bayangkan, melihat hal-hal yang kurang dari diri saya sendiri dan terus mencoba memperbaikinya.
Saya melihat kacamata yang banyak dan berbeda.
Sekarang,
Hal-hal yang tidak pernah kita sadari dulu, seperti tumpukan
kotoran yang menggunung dan sulit untuk tidak dipedulikan.
Sepertinya tidak mungkin lagi
mengabaikan.
Sepertinya ini waktunya kita memperbaiki kekurangan.
Mari kita perluas
sudut pandang. Begitu kita melihatnya dengan
kaca mata berbeda, segala sesuatunya akan tampak sangat berbeda.
“That is the strangest thing about
the world; how it looks so different from every point of view”.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida