Apa yang dirasain setelah sampai di Makkah ?
Sambil mengenang yang sudah terlewati, saya akan perlahan-lahan menuliskan
disini,-
Sepanjang perjalanan, awalnya saya bersemangat – terharu – berdebar karena
tempat yang saya rindukan sebentar lagi akan saya datangi. Saya hendak menuju
tanah Haram. Tanah yang dimuliakan. Tempat doa-doa di ijabah. Tempat dimana
kakbah dan hajar aswad berada.
Lebih dari itu, ketika muthawwif mengajak rombongan untuk
ber-talbiyah, mata saya sudah berkaca-kaca lebih dulu. Haru biru. Dada saya
sesak oleh perasaan tidak jelas - tidak terbendung yang meluap lewat ujung air
mata.
Rasa haru itu masih terus bertahan sampai perlahan kantuk saya datang.
Sesampainya di Makkah, kami diminta untuk bersiap – bersuci – sekaligus makan
sebelum berangkat ke masjidil haram dan menunaikan umroh wajib. Sesuai jadwal,
kami harus siap pukul 10.30 di lobby hotel dan berangkatlah kami ke masjidil
haram. Setelah sebelumnya kami harus menjamak ta’khir sholat, mulailah kami
menunaikan umroh wajib bersama rombongan dan muthawwif.
Perjalanan tidak terlupakan saya dimulai disini.
Apa kesan &
pesan yang paling teringat di benak?
Suasana sejak saya berjalan menuju masjidil haram sudah sangat ramai, mata
saya tidak lepas memandang sekitar – menyimpan (memotret dalam ingatan) seluruh
hal yang yang bisa saya simpan. Menikmati hal indah sepanjang tertangkap mata. Saya
abadikan itu dengan mata, dan tentu saja dengan bantuan kamera handphone
saya.
Bahkan di saat malam, pemandangan dari luar masjid sudah sangat megah. Di
bilah kiri saya ada menara jam besar yang menjadi ikon Makkah, bangunan tinggi berisi
mall dan pusat belanja, hotel-hotel berjejer, kamar mandi, ratusan
manusia. Saya tidak menyangka bahwa
sudah disinilah saya, menuju kakbah yang biasanya hanya bisa saya lihat melalui
foto atau video sosial media.
Pas ngliat Kakbah gimana rasanya ?
Gak percaya! Sembari menuruni tangga terakhir setelah pintu masuk,
ketika kakbah mulai terlihat, kaki saya saja hampir tidak percaya bisa sampai
disana!
Bisa melihat kakbah ada di depan mata, saya lemas sekaligus excited.
Awalnya saya kira rangkaian umroh bisa saya lakukan dengan mudah. Saya melatih
fisik saya sebelum berangkat tapi tetap saja, ternyata kesombongan saya tidak
ada gunanya. Meskipun saya berlatih dan berolahraga lebih sering daripada adik
saya, nyatanya saya sakit juga. Saya tidak bisa melawan sakit yang ditakdirkan
kepada saya.
Saya kira, ibadah fisik yang orang
lain bilang tidak sesulit atau tidak akan menyulitkan saya.
Saya kira ibadah ini hanya membutuhkan kesiapan materi dan panggilan
hati.
Semua perkiraan saya salah dan saya kembali diingatkan Allah bahwa
lagi-lagi manusia memang hanya bisa berencana. Selesai 7 putaran thawaf pertama,
saya sudah ditegur keras dengan rasa pening di kepala, pandangan kabur, kaki
lemas dan hampir pingsan (padahal jarak thawaf saya tidak jauh dan syukur sekali saya sempat mencium kakbah disana) Ingin menyerah tapi saya tidak tega hati untuk tidak
menyelesaikannya.
Dalam keadaan itu saya terpaksa duduk, mengembalikan separuh kesadaran
yang tidak bisa saya paksakan dalam keadaan berdiri tegak. Alhamdulillahnya saya
masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk shalat setelah thawaf dan berdoa.
Tidak ada doa lain yang lebih banyak saya ucapkan di depan kakbah selain
semoga saya diberikan kesehatan. Semoga saya diberi kesembuhan. Semoga saya
diberikan kekuatan. Ketiga doa itu saya mintakan berulang-ulang dan disinilah
saya sekarang, mengingat kembali kejadian itu sambil merenungi – kalau bukan
karena kasih sayang dan belas kasihan Allah, saya tentu tidak bisa
menyelesaikannya.
Apa pesanmu
untuk mereka yang hendak beribadah umroh ?
Saya ingat betul, saat itu saya sakit (panas dan radang) sehingga ketika harus lama berjalan saya merasa
gontai, nyeri, dan berkeringat dingin. Saya pikir saya tidak akan bisa thawaf wada. Tapi ternyata tidak. Memasuki pelataran
masjidil haram keringat dingin saya perlahan hilang dan pening-pening yang
awalnya terasa penuh mulai samar-samar hilang. Energi aneh itu saya dapatkan
ketika mulai yakin saya bisa melakukannya. Tidak seperti perkiraan saya.
Masih segar di ingatan, di putaran
ke-4 sa’i, diantara shafa dan marwah (saya – yang sudah hampir menyerah – lemas
sekali kaki saya, berat digerakkan) saya terus menerus hanya bisa berdoa diberi
kekuatan, sisa 3x putaran itu rasanya mustahil diselesaikan. Lorong antara shafa
dan marwah yang sebenarnya tidak terlalu jauh nampaknya sangat panjang dan
jauh. Kalau dibayangkan begitu melelahkan. Kalau bukan karena bantuan dzikir
dan gandengan tangan adik saya tentu saya tidak bisa menyelesaikannya.
Secara naluriah – saya malu. Tapi mau bilang apa.
Bayangkan, usia saya baru masuk kepala tiga, dan berjalan terseok-seok
hanya dengan 7x putaran. Sementara jamaah yang lain masih segar, semangat, bersuara
lantang pula. Tidak akan lupa saya bagaimana ramai dan padatnya orang yang sedang sa'i. Dengan keadaan itu saya tidak menafikan bahwa hanya kekuasaan
Allah dan keyakinanmu lah yang bisa mengendalikan segala sesuatu. Tidak ada
yang tidak mungkin bagi Allah dan pasrahkan keyakinanmu disana. Umur, jabatan, kekayaanmu disana? Sepertinya tidak ada gunanya.
Pesannya, lepaskan semua gambaran buruk dan
ketidakmampuan yang ada di kepalamu ketika beribadah. Semua yang sudah
ditakdirkan insya Allah akan tetap pada jalannya dan tidak perlu dirisaukan. Jangan
lupa – ibadah ini bukan hanya persoalan material saja, ini adalah persoalan
keyakinanmu kepada Allah dan kekuasaan-Nya.
Sebelum mencapai klimaks, semoga cerita singkat ini tidak berakhir disini, semoga kita akan selalu dikaruniai kemudahan untuk beribadah disana, dalam keadaan sehat – lancar dan maksimal. Aamiin. Salam Selasa.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida