KITA SEMUA PUNYA BERKAT YANG BERBEDA

Dalam suatu kesempatan, saya pernah berandai-andai menjadi seseorang – mengambil kelebihan satu orang di sebelah kiri, kanan, dan lantas membandingkannya dengan kehidupan sendiri. Di hari yang lain, saya melihat orang lain lagi dan bermimpi menjadi Sepertinya, Sepertinya mudah dan bahagia. Sepertinya indah dan tanpa cela.

Pasti ada beberapa moment yang membuat kita merenung, mengapa hidup kita tidak semudah mereka, atau mengapa kita merasa iri dan memimpikan kehidupan orang lain. Padahal, jika benar-benar menjalaninya, kita mungkin tidak akan sempat membayangkannya.

Dalam pertanyaan itu, pernah suatu kali saya mendapat kesempatan untuk lebih dekat dengan orang-orang yang pernah kita impikan menjadi “dia”, dan menjalani “harinya” cukup dekat dan singkat untuk tau apakah kita pantas membandingkan hidup kita dengan “dia”.

Seorang teman saya, sebut saja X – dari luar nampak kaya, serba berkecukupan, suaminya memenuhi kebutuhannya, memiliki dua anak dan ya  bebas membelanjakan uang sesuka hati (menurut saya). Sepertinya, dia tidak kesulitan hal apapun dalam hidup, nampak santai saja. Seorang teman yang lain lagi, C, memiliki pekerjaan yang “lumayan” di daerah, dengan gaji lebih tinggi diantara yang lain, pekerjaannya kadang-kadang sangat sibuk – kadang kadang boleh kita bilang sangat santai bergantung order pusat.  




Sayangnya, semua kata “sepertinya”, “nampaknya”, “kayaknya”, yang sering kita sampaikan kepada orang lain tidak berbanding lurus dengan realitanya. Mereka semua punya keluhan dan permasalahannya sendiri yang belum tentu bisa kita selesaikan. Mereka diberi ujian sesuai kapasitasnya. Saya bahkan bilang, “kayanya aku nggak bisa deh jadi kamu. Capek banget. Repot banget. Susah banget. Sabar banget.”.

X yang keliatan tanpa beban tersebut harus menjalani hari dengan wira wiri setiap hari full di jalan tanpa sempat protes dengan anaknya yang membutuhkan perhatian ekstra, mengeluarkan uang lebih banyak, dan ujian kesabaran yang luar biasa pada keluarganya. Sementara C, bekerja lebih banyak menggunakan energi dan bicaranya, kadang harus mengeluarkan energi 24 jam tanpa jeda untuk menyelesaikan tugas harian. Jika saya bisa bekerja lebih akhir dan selesai lebih awal, ternyata dia  harus bekerja lebih awal dan pulang lebih akhir. Berkebalikan dengan saya.

Kita semua sibuk berasumsi, melihat hidup orang lain seolah-olah sudah sempurna di mata kita. Padahal sesungguhnya yang kita lihat hanya keindahannya saja, berkat bahagianya saja, sementara berkat kesulitannya tidak pernah kita bayangkan sehingga itu luput dari perhatian kita. Menjadi tidak adil jika kita hanya melihatnya sebelah mata.

Di usia 32 tahun ada seorang yang telah menjadi ibu dari 1 – 2 bahkan 3 anak dan merelakan sementara mimpinya, di usia 32 tahun ada seorang yang masih berjuang membayarkan hutang keluarga, di usia 32 tahun ada seorang yang telah menjadi janda mengurus anaknya seorang diri tanpa nafkah dari mantan suaminya, di usia 32 tahun ada seorang yang lain telah tutup usia meninggalkan anak isterinya yang masih sama mudanya. (AlFatihah untuk teman saya yang baru saja tutup usia)

Pesannya sama, dengan masalah itu kita diminta untuk menghadapinya dengan baik sesuai kapasitas kita.

Daripada sibuk membandingkan, akan lebih baik jika kita bersyukur dan saling menguatkan. Manfaatkan waktu kita sebaik mungkin karena apa yang terjadi esok hari adalah rahasia Allah.

Berkat kita memang berbeda, begitupun ujiannya, jangan lupakan segala nikmat yang kita terima. Dan tidak apa-apa menjadi berbeda asal kita menjalaninya dengan sekuat upaya. Mari mengambil pelajaran pada kehidupan orang lain dan menjadikannya nilai tambah untuk menjalani hidup kita dengan lebih baik, semangat, dan positif.

Semoga bermanfaat.

 

 


Best Regards, Latifa Mustafida

Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida