Apa yang dimaksud dengan Borgtocht?

1.      Pengertian Borgtocht.

Pasal 1820 KUHPerd memberikan penjelasan mengenai perjanjian penanggungan yakni, :
“Penanggungan adalah suatu persertujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.

Dalam lembaga jaminan, perjanjian penanggungan masuk dalam klasifikasi jaminan perseorangan / perorangan (persoonlijk) yang lazim terjadi dalam praktek perbankan indonesia. Perjanjian tersebut dapat dilakukan oleh tiga pihak sebagai subyek hukum perjanjian tsb, yaitu: orang pribadi, bank, dan badan hukum.

Dahulu Perjanjian penanggungan lazim dilakukan oleh seseorang tertentu tanpa mempunyai kepentingan tertentu dan murni atas dasar persahabatan atau membantu untuk memenuhi peertanggungan orang lain. Namun praktek pada zaman sekarang banyak menggunakan perjanjian penanggungan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a.      Mempunyai persamaan kepentingan ekonomi (ada kepentingan antara penjamin dan peminjam) misalnya dalam keadaan-keadaan sbb: penjamin adalah pemegang saham terbanyak dari perusahaan tsb, atau penjamin merupakan perusahaan induk yang menjamin perusahaan cabang.

Perubahan subyek dari waktu ke waktu merupakan kepastian bagi kreditur dan memberikan jaminan untuk dipenuhinya perutangan dalam perjanjian pokok. Adanya perjanjian penanggungan tsb selalu dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok. Perjanjian pokok dalam Borgtocht dapat dilakukan dari semua perikatan, baik perdata maupun pidana yang dapat dinilai dengan uang.



Pada umumnya penanggungan itu timbul dari perjanjian pokok, karena dalam beberapa keadaan kreditur akan menyetujui hubungan pinjam meminjam setelah seseorang tsb dapat mengajukan penanggung kala debitur tsb ditakutkan wan prestasi. Perjanjian penanggungan dapat dimintakan oleh kreditur, maupun inisiatif dari debitur sendiri. Bahkan kreditur dapat menunjuk sendiri siapa yang harus menjadi penanggung tanpa persetujuan dan pengetahuan debitur pokok.

Di samping itu, penanggungan dapat juga muncul karena penetapan undang-undang (keadaan tak hadir, hak pakai hasil, pewarisan) dan juga karena ketetapan/keputusan hakim untuk memenuhi suatu perutangan. Namun pada intinya, pengajuan seseorang sebagai Penanggung adalah murni untuk kepentingan kreditur.

Ada dua macam jenis penanggungan, yakni penanggungan terbatas dan penanggungan tak terbatas. Dalam penanggungan terbatas, Penanggung tidak dapat memenuhi kewajibannya melebihi apa yang diperjanjikan oleh debitur pokok. Sedangkan dalam perjanjian penanggungan tak terbatas tidak hanya untuk pelaksanaan perjanjian pokok saja – akan tetapi termasuk semua hutang bahkan semua biaya gugatan yang diajukan thd si berhutang utama dan segala biaya yang dikeluarkan setelah si penanggung diperingatkan untuk melaksanakan kewajibannya. (Ps. 1825 KUHPerd). 



2.      Sifat dan syarat terjadinya Borgtocht.

a.      Bersifat accesoir
Sebagai suatu perjanjian yang selalu dikaitkan dengan perjanjian Pokok dan mengabdi pada Perjanjian pokok tsb, maka dengan begitu Perjanjian Penanggungan adalah bersifat Accesoir/ tambahan/pelengkap. Hal tsb dijelaskan di dalam Pasal1821 KUHPerdata tentang syarat dari adanya perjanjian penanggungan, yakni:
“Tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah”.

Perjanjian penanggungan adalah perjanjian yang bersifat asesoir/tambahan dan merupakan perjanjian yang bersyarat dengan syarat tangguh karena digantungkan pada suatu peristiwa tertentu yakni cidera janji atau wanprestasi dari debitor dalam perikatan pokok yang dijamin/ditanggung oleh penanggung. Perjanjian Penanggungan dapat diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat hukum publik, asalkan prestasi tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang.[1]
Penanggungan yang diadakan untuk pemenuhan piutang dari hubungan hukum keperdataan, dapat timbul dari perutangan yang lahir dari perjanjian, perbuatan melawan hukum, perutangan wajar pengurusan kepentingan orang lain dan pembayaran tak terutang.
Dengan kedudukannya sebagai perjanjian accesoir maka perjanjian penanggungan, seperti halnya perjanjian accesoir lain seperti hipotik, gadai, dan lain-lain akan memperoleh akibat hukum sbb:
a)      Bergantung pada perjanjian pokoknya;
b)      Apabila perjanjian pokok batal maka perjanjian penanggungan menjadi ikut batal;
c)      Jika perjanjian pokok hapus, perjanjian penanggungan ikut hapus;
d)      Dengan beralihnya piutang pada perjanjian pokok, maka semua perjanjian accesoir yang melekat pada piutang tsb akan ikut beralih.

b.      Pemenuhan kewajibannya bersifat subsidair.
Di dalam perjanjian penanggungan, untuk memenuhi prestasi daripada perjanjian tsb adalah memiliki syarat tangguh, yakni ketika dalam hal debitur tidak dapat memenuhi/ cedera janji/ wan prestasi. Dipertegas dalam Ps. 1820 KUHPerd yang berbunyi :
“Penanggung mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan debitur, manakala si debitur sendiri tidak memenuhinya.”
Dari aturan pasal tsb dapat disimpulkan bahwa penanggung hanya terikat secara subsidair manakala debitur tidak dapat memenuhi perjanjian pokoknya, dan pada tingkat yang terakhir hanya debitur yang berkewajiban atas pemenuhan hutang tsb.
Menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana keadaan wan prestasi tsb yang menjadi syarat tangguh dalam pemenuhan penanggungan?
Disini perlu diketahui apakah wanprestasi maupun cedera janji tersebut memerlukan penetapan dari hakim, atau dapat timbul dengan sendirinya dan apakah kreditor dapat menagih langsung kepada penanggung untuk melunasi semua kewajiban, prestasi, atau perikatan debitor tanpa perlu lebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitor yang telah cedera janji/wan prestasi tsb.
Di dalam prakteknya, lembaga jaminan Indonesia dapat menagih langsung kepada Penanggung tanpa terlebih dahulu menagihnya kepada debitor atau tanpa harus memberikan pernyataan wanprestasi/cedera janji dari pengadilan karena di dalam form/lembar yang lazim ditandatangani oleh penanggung telah menghilangkan/melepaskan hak istimewa penanggung untuk menyita dan menjual harta kekayaan debitor terlebih dahulu.  Dalam konteks yang demikian, tidak perlunya penetapan Wan prestasi dari pengadilan merupakan konsekwensi dari Pasal 1238 KUHPerdata yang berbunyi :
“Debitor adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah, atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa debitor harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Maka dengan lewatnya waktu dari perjanjian pokok yang telah disetujui oleh Debitur pokok untuk memenuhi kewajibannya, dengan sendirinya Debitur pokok telah dianggap wan prestasi dan Penanggung seketika itu harus memenuhi kewajibannya. 

c.       Bentuk perjanjian bebas dan tegas.
Pada sasarnya penanggungan adalah perjanjian yang berbentuk bebas dan sepihak, yang lebih ditekankan kepada kewajiban penanggung dan mafhum menghilangkan beberapa hak istimewa penanggung karena dapat menyulitkan kreditur dalam pemenuhan kewajibannya. Namun, perjanjian penanggungan ini tidak dapat dipersangkakan, akan tetapi harus dinyatakan secara tegas. Pernyataan yang tegas tsb merupakan perlindungan bagi penanggung itu sendiri, agar tidak dipertanggung jawabkan terhadap hal-hal lainnya, dan agar supaya dapat memintakan hak istimewa yang ada padanya di kemudian hari.
Sebagai pengecualian, dalam perjanjian penanggungan dimungkinkan bahwa si penanggung tidak menanggung pembayaran sejumlah uang, namun juga memenuhinya suatu prestasi. Misalnya menanggung suatu pekerjaan, yang lazim dalam perjanjian penanggungan pembangunan (Bouwborgtocht).

d.      Pemenuhannya tidak dapat melebihi perjanjian pokok.
Di dalam Pasal1822 KUHPerdata yang menyebutkan hal sebagai berikut:
“Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat, daripada perikatannya debitor. Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan diadakan untuk lebih dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka perikatan itu tidak sama sekali batal, melainkan ia adalah sah hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatannya pokok”.
Yang dalam hal tsb telah berlaku asas bahwa orang hanya memberikan apa yang tidak melebihi dari apa yang menjadi haknya, yang dalam adaigum Hukum Romawi berbunyi sbb : “Nemo plus iuris in alium transfere potest quam ipse habet”.
 
3.      Yang harus diperhatikan dalam Borgtocht
a.      Merupakan perjanjian accesoir, maka perlu dilihat apa perjanjian pokoknya.
b.      Pada dasarnya tidak dapat dilakukan lebih dari perjanjian pokok.
c.       Perjanjian Penanggungan dapat dilakukan tanpa sepengetahuan atau atas persetujuan debitur pokok.
d.      Kewenangan, dan kecakapan si Penanggung.
Perlunya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif yang kedua dalam syarat syahnya terjadi suatu perjanjian. Kecakapan ini dalam prakteknya berkaitan erat dengan kewenangan bertindak dalam hukum. Sehubungan dengan hal tsb, Pasal 1827 KUHPerd menentukan bahwa:
“Pihak Debitor yang diwajibkan memberikan seorang penanggung, harus memajukan seorang yang mempunyai kecakapan untuk mengikatkan dirinya, yang cukup mampu untuk memenuhi perikatannya, dan yang berdiam di wilayah Indonesia”.
Untuk menyatakan seseorang yang akan menjadi penjamin/penanggung, perlu dilihat kecakapan atau kewenangan bertindak orang tsb yang menurut doktrin ilmu hukum dibedakan menjadi :
a)      Kewenangan bertindak untuk dan atas namanya sendiri (Ps. 1329 – 1331 KUHPerd) ;
b)      Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain / Pemberian kuasa ;
c)      Kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali / wakil dari pihak lain.
Dari pembedaan tsb, terdapat ketentuan mengenai hukum Perkawinan yang perlu diperhatikan, yakni sebagai berikut:
a.      Jika seseorang telah kawin dengan tidak membuat perjanjian Kawin, maka setiap pemberian penanggungan utang harus mendapat persetujuan dari isteri/Suami yang berada dalam persatuan atau percampuran harta seutuhnya tersebut sehingga harta yang berada dalam percampuran tersebut syah untuk dituntut baik secara materiil maupun immateriil.
b.      Jika seseorang telah kawin dengan percampuran harta terbatas, yang membuat perjanjian tanpa persetujuan isteri/suaminya, maka penanggungan hanya berlaku sebatas dan terhadap harta kekayaan suami/isteri yang memberikan penanggungan utang tersebut. Tetapi apabila kreditor bermaksud untuk mengikat seluruh harta tersebut, suami dan isteri harus bertindak bersama-sama, atau salah satu telah memperoleh persetujuan tertulis dari yang lainnya.
c.       Jika seseorang telah kawin dengan Perjanjian kawin tanpa percampuran harta sama sekali, maka masing-masing bebas bebas untuk mengadakan penanggungan utang, secara terbatas dan hanya sebatas pada harta kekayaan mereka pribadi, dan tidak dapat membawa kerugian terhadap pasangannya, oleh karena masing-masing bertanggung jawab penuh atas harta kekayaan masing-masing, dan berlakulah Pasal 1315 jo. Pasal 1340 KUHPerdata bagi suami atau isteri yang memberikan penanggungan utang tersebut.[2]
 
Dalam hal apabila penanggung yang diajukan tsb kemudian dianggap tidak mampu, maka Ps. 1829 KUHPerdata menentukan bahwa:
“Apabila penanggung, yang telah diterima oleh kreditor secara sukarela atau atas putusan hakim, kemudian menjadi tak mampu, maka haruslah ditunjuk seorang penanggung baru”.

4.      Hapusnya penanggungan.
Dalam Pasal 1845 KUHPerdata menjelaskan bahwa Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya. Dan dengan ketentuan tersebut berlaku Pasal 1381 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan diantaranya, :
a.      Pembayaran;
b.      Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c.       Pembaharuan utang;
d.      Perjumpaan utang atau kompensasi;
e.      Percampuran hutang;
f.        Pembebasan utang;
g.      Musnahnya barang yang terutang;
h.      Kebatalan atau pembatalan;
i.        Berlakunya syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku KUHPerdata;
j.        Lewatnya waktu, yang diatur dalam bab tersendiri.

5.      Hak-hak istimewa Penanggung dalam Undang-Undang.
Dalam melaksanakan kewajibannya oleh Undang-Undang, penanggung diberikan hak-hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan bagi Penanggung (menurut ketentuan Undang-Undang) diantaranya[3]:
a.      Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning);
Penanggung memiliki hak istimewa (yakni untuk meminta pemenuhan benda-benda si berhutang supaya lebih dahulu disita dan dijual) yang membawa akibat hukum bagi penanggung untuk tidak diwajibkan melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum ternyata bahwa harta kekayaan debitor yang cedera janji tersebut telah disita dan dijual.
b.      Hak untuk membagi hutang (voorrecht van schuldsplitsing);``
Yaitu jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa orang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk suatu hutang dan untuk seorang debitur yang sama, maka masing-masing penanggng terikat untuk seluruh hutang. Yang secara rinci menjelaskan apabila para penanggung digugat untuk pemenuhan hutangnya dapat menuntut kepada kreditur untuk lebih dahulu membagi-bagi piutangnya untuk bagian dari para penanggung.
c.       Hak untuk mengajukan tangkisan gugat (Ps. 1849, 1850 KUHPerdata);
Penanggung berwenang untuk mengajukan tangkisan-tangkisan sebagaimana yang digunakan oleh debitur kepada kreditur, kecuali hal yang menyangkut pribadi dari debitur itu sendiri. Hak ini lahir akibat dari perjanjian penanggungan dan sifat asesoir dari perjanjian penanggungan tersebut, misalkan persoalan kesesatan, jika perjanjian dibuat dengan syarat atau dengan ketentuan waktu. 

Akan tetapi, di dalam prakteknya, terhadap ketiga hak di atas, yakni hak untuk menuntut, membagi hutang, dan mengajukan tangkisan gugat selalu diperjanjikan agar penanggung melepaskan hak untuk hal-hal tersebut di atas. Karena terdapat konsekwensi yang dapat merugikan/menyulitkan penanggung maupun dalam hal ini lebih utama kreditur apabila semua hak tadi tidak diperjanjikan untuk tidak dilepaskan terlebih dahulu dalam perjanjian.
d.      Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan subrogasi akibat perbuatan/kesalahan kreditur).
Hak ini timbul sebagai akibat dari ketentuan bahwa penanggung yang telah membayar, karena hukum akan menggantikan semua hak-hak kreditur terhadap debitur. Namun apabila hak tersebut tidak dapat terlaksana karena kesalahan kreditur, maka penanggung harus diberhentikan sebagai penanggung dan perjanjian tersebut menjadi gugur.
e.      Hak Regres dan Subrogasi dari penanggung.
Kedua hak tersebut akan muncul bersamaan setelah pembayaran oleh Penanggung kepada kreditur tanpa harus dilakukan penyerahan apapun terlebih dahulu. Hak regresadalah hak untuk menuntut kembali pembayaran yang telah dibayarkan oleh penanggung tersebut dari si debitur, baik dengan pengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur. Hak tersebut tetap ada sekalipun tidak tercantum secara khusus dalam akta penanggugan ataupun surat-surat tanda bukti yang lain. 

Hak regres timbul setelah penanggung membayarkan hutang debitur, yang berlaku baik mengenai hutang pokok, bunga maupun biaya-biaya lain yang timbul dari apa yang telah dikeluarkan oleh penanggung, termasuk kerugian (yang berupa biaya, kerugian dan bunga) (Pasal 1839 ayat 4 KUHPerdata).

Namun terhadap hal tersebut, ketika Penanggung telah membayarkan hutang debitur, penanggung seketika itu mempunyai dua macam hak menuntut kembali kepada debitur pokok. Yang pertama adalah hak regres di atas, dan yang kedua, si penanggung yang telah membayar tersebut, karena hukum bertindak menggantikan kedudukan kreditur mengenai hak-haknya terhadap si debitur. Menggantikan hak-hak kreditur yang terjadi karena subrogasi (Ps. 1840 KUHPerdata).

Jika hak regres adalah hak untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkannya termasuk pula kerugian, bunga dan apa yang timbul karena penjualan terhadap barang penanggung (pembayaran ongkos perkara, bunga, kerugian). Dalam subrogasi, penanggung menjadi pengganti kreditur dengan memperoleh hak-hak kreditur termasuk jaminan-jaminan yang melekat pada hak kreditur yang digantikan olehnya (hak hipotik, hak gadai, dan hak privilegi). Terdapat dua macam hak tersebut, penanggung dapat melaksanakan dua macam hak tersebut secara bersama-sama atau salah satu di antaranya.

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, Jakarta: PT. Raja Garafindo Persada, 2003.

Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013.

Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta: Liberty Offset, 2007.


[1] Lazimnya dalam perjanjian penanggungan yang menjadi perikatan pokok adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan, namun dimungkinkan juga untuk menjamin prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang publik, dengan syarat prestasi tsb dapat dinilai dalam bentuk uang.
[2] Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung, hlm. 42-43.
[3] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, hlm. 92.



Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida