C. Hak Uji Materiil Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam konteks, demikian MA memiliki posisi strategis terutama bidang hukum dan ketatanegaraan yang diformat:
(1) Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
(2) Mengadili pada tingkat kasasi;
(3) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; dan
(4) Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Adapun pengertian hak uji materiil adalah : suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenement) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. [1]
Selanjutnya Muhammad Kusnadi dan Bintan R. Saragih mengatakan bahwa hak menguji materiil ialah hak menguji dari Mahkamah Agung untuk menentukan apakah suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu lembaga Negara itu melampaui wewenang yang diberikan kepada lembaga tersebut. Di samping itu hak menguji materil, meliputi pula hak menguji tentang nilai rohaniah sesuatu peraturan perundangan yaitu apakah suatu peraturan perundangan yang dibuat oleh suatu lembaga Negara itu sudah logis dan bermanfaat, sehingga secara moral dapat dipertanggungjawabkan. [2]
Di samping itu, Muhammad Ridwan Indra memberikan suatu pengertian tentang hak menguji (judicial review) adalah hak untuk menguji apakah suatu peraturan perundangan itu bertentangan yang tingkatan lebih tinggi. [3]
Dari tiga pengertian tersebut, maka apabila pengertian itu dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan tentunya hak menguji materil, dapat diberi pengertian sebagai berikut, hak menguji materil adalah suatu hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk menilai suatu peraturan perundangan itu dari segi isinya, bertentangan dengan atau tidak dengan peraturan di atasnya. Kemudian berdasarkan pada PERMA No. 1 Tahun 2004 jo. PERMA No. 1 tahun 2011 dijelaskan khususnya dalam pasal 1 ayat (1) bahwa hak uji materil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi
Mengenai hak uji materil ini diatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 terutama tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman jo. Undang-undang No. 14 Tahun 1985 pasal 31 tentang Mahkamah Agung yang intinya menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk mengadakan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Dari kedua ketentuan tersebut dapat dinyatakan bahwa wewenang hak uji materil ini berada di tangan Mahkamah Agung, terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Selanjutnya untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah atau di bawah undang-undang, maka dilihat dari ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, mengenai sumber-sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia, sebagai berikut:
- Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
- Peraturan Penataran Pelaksanaan lainnya seperti:
· Peraturan Menteri
· Instruksi Menteri
· Dan lain-lain.
Dengan mengetahui tata urutan peraturan perundang-ndangan seperti tersebut di atas, maka dapat diketahui mengenai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itu adalah:
- Peraturan pemerintah
- Keputusan presiden
- Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
Yang dimaksud dengan kata lain-lain itu, meliputi juga seperti peraturan perundang-undangan seperti:
- Surat keputusan sekretaris Jendral
- Surat keputusan Direktur Jendral
- Surat Keputusan Gubernur
- Surat Keputusan Walikotamadya
- Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang bersifat umum. [4]
Sebagai suatu naskah yang singkat, Undang-undang dasar 1945 tidak mengatur keseluruhan masalah-masalah ketatanegaraan. Oleh karena itu, pengaturan selanjutnya diserahkan kepada penyelenggara yang lebih rendah. Demikian pula tentang Mahkamah Agung; selain ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 dan 25. Undang-undang dasar 1945 tidak mengaturnya termasuk ketentuan-ketentuan mengenai hak menguji materil. [5]
Undang –undang No. 14 Tahun 1979 merupakan hasil dari upaya untuk melembagakan hak uji materil. Di dalam pasal 26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut disebutkan bahwa “hak menguji secara materil” dimiliki oleh Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah undang-undang atau terhadap peraturan pemerintah (PP) dan seterusnya ke bawah. Ketentuan pasal 26 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 ini kemudian dikuatkan atau dituangkan lagi dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain seperti Tap MPR No. VI/MPR/1973 ( Pasal 11 ), Tap MPR No. III/MPR/1978 ( pasal 11 ) jo Undang-undang No. 14 Tahun 1985 (pasal 31).[6]
Adapun pasal 26 undnag-undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dan tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Mengingat kebutuhan yang semakin penting maka pada tahun 1973 MPR lewat Tap No. VI/MPR/1973, tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau/antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara pasal 11 ayat 4 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang secara materil menguji adalah sampai peraturan perundang-undangan yang nilainya mulai di bawah undang-undang : tidak termasuk undang-undang. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan dengan ketetapan No. III/MPR/1976 pasal 11 ayat 4 dalam masalah yang sama.[7]
Di samping undang-undang tersebut, mengenai hak uji materil ini diatur lagi dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yang tercantum dalam pasal 31 yang berbunyi:
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.
Selanjutnya, mengenai wewenang Mahkamah Agung untuk mengadakan hak uji materil yang diatur dalam undang-undang No. 14 Tahun 1970, pasal 26 dan undang-undang No. 14 tahun 1985 pasal 31 serta Perma No. 1 Tahun 1993 ini, Muhammad Mahfud MD berpendapat bahwa, dalam ketentuai pasal 26 Undang-undang No. 14 TAHUN 1970 itu sendiri tidak mungkin diadakan hak uji materil. Menurut ketentuan tersebut hak menguji secara materil hanya dapat dilakukan pada pemeriksaan tingkat kasasi, artinya harus ada perkara atau gugatan lebih dahulu ke pengadilan. Dari sudut teknis peradilan pemeriksaan pada tingkat kasasi, baru dapat dilakukan jika sudah ditempuh peradilan pada tingkat pertama dan/atau kedua. Jadi, dari sudut ini perkata untuk permohonan hak uji materil harus disampaikan kepada pengadilan di bawah MA terlebih dahulu, sebab MA baru dapat memeriksa pada tingkat kasasi jika sudah selesai diperiksa dan diputus oleh pengadilan tingkat pertama dan/atau tingkat banding.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan pasal tersebut, maka akan terdapat permasalahan dalam operasionalnya yang didasarkan pada adanya dua alasan: pertama, MA baru diperbolehkan memeriksa perkara uji materil jika sudah menempuh secara tuntas peradilan tingkat pertama dan/atau banding berdasarkan adanya gugatan terhadap sebuah perundang-undangan. Kedua, peradilan tingkat pertama dan/atau banding tidak akan memeriksa dan memutus perkara karena menurut UU pemeriksaan dan pemutusan tentang hal tersebut hanya menjadi wewenanga (kompetensi absolute) MA. Sehingga hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU menurut UU yang berlaku sekarang tidak dapat dilaksanakan.
Tata cara pengajuan pemohon keberatan yang diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2011 yaitu:
1. Permohonan Keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara :
a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau
b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon;
a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau
b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon;
2. Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu Peraturan Perundang-undangan yang diduga
bertentangan dengan suatu Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi;
bertentangan dengan suatu Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi;
3. Permohonan keberatan dibuat rangkap sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah;
4. Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.
[1] Sri Soemantri, Hak Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 5-9
[2] Muhammad Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut UUD 1945, Gramedia, Jakarta, 1986, Hal. 79
[3] Muhammad Ridwan Indra, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, 1987, Hal. 135.
[4] Masalah-maslaah yang Dapat Terjadi Sehubungan Dengan Penyelenggaraan Peradilan Hak Uji Materil Indonesia, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia Pendalaman Materi Hukum IV Mahkamah Agung RI, 1993, Kelompok Garuda, Hal. 47.
[5] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan, Liberty, Yogyakarta, Cet. II, 1989, Hal. 64.
[6] Muhammad Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Disertasi, UGM, 1991, Hal. 617.
[7] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan, op. cit., Hlm. 69.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida