PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Setelah dunia mengalami dua peperangan, maka selama itu banyak hak-hak asasi yang dilanggar. Tahun 1948 berhasil diterapkan dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights (pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia) oleh Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa.
Lalu muncul pertanyaan: apakah HAM itu sebenarnya? Kalau ia sebagai hak yang diakui secara universal, lalu bagaimana keberadaan hak yang juga diakui oleh sebuah otoritas local kedaerahan yang tentunya meskipun memiliki persamaan, terdapat pula perbedaan signifikan? Jika demikian halnya, mengapa HAM yang diakui bersifat universal itu kerapkali mengalami reduksi dan deviasi sehingga melenceng jauh dari pesan-pesan fundamentalnya?
Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan Internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk pengadilan khusus bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Dalam perkembangan kehidupan berbangsa, konstitusi merupakan pilihan terbaik dalam memberi ikatan ideologis antara yang berkuasa dengan yang dikuasai. Untuk merealisasikan terwujudnya pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian dari HAM?
2.Masalah HAM dan Lembaga penyelesaiannya di Indonesia ?
PEMBAHASAN
Pengertian
Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari 3 kata, hak, asasi, dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sementara kata manusia adalah kata dalam bahasa Indonesia. Kata haqq terambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqaan, artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. apabila dikatakan yahiqqu ‘alaika an taf’ala kadza, itu artinya “kamu wajib melakukan seperti ini.” Berdasarkan pengertian tersebut, maka haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kata asasiy berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan, artinya membangun, mendirikan, meletakkan. Dapat juga berarti asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Dengan demikian, asasi artinya segala sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang selalu melekat pada objeknya.
Sedangkan menurut pasal 1 dan 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat.bila pasal-pasal tersebut dikaitkan dengan pasal-pasal selanjutnya maka menjadi jelas bahwa yang yang dimaksud dengan pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum yang hanya bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat saja.
Berbicara tentang HAM, berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak Asasi manusia Internasional adalah ideology Universal pertama di dunia. Cita-cita agama, politik, filsafat, dan ekonomi memiliki penganutnya di berbagai bagian dunia, akan tetapi hak-hak asasi manusia merupakan sebuah gagasan yang sekarang ini telah diterima di seluruh dunia. Namun penting bagi kita, yang hidup pada saat konsepsi HAM telah berkembang sedemikian rupa bahwa dewasa ini HAM telah menjadi obyek kajian yang menarik. HAM terus berkembang seiring dengan perkembangan wajah dan tuntutan diri manusia itu sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh lokalitas lingkungan diri dan masyarakatnya.
Dalam tataran konseptual, HAM mengalami proses perkembangan yang sangat kompleks. HAM adalah puncak konseptualisasi manusia tentang dirinya sendiri. Dalam konteks Indonesia, wacana HAM masuk dengan “indah” ke dalam pemikiran anak bangsa. Perbincangan HAM dalam konteks konstitusi Indonesia merupakan diskusi yang intens, dan sejarah mencatat bahwa perdebatan HAM telah dimulai pada saat perumusan Negara Indonesia. Dalam konteks reformasi, tidak jarang juga fenomena euforia Demokrasi menjadikan HAM sebagai “kendaraan” untuk menjerat dan menjatuhkan seseorang.
Sejalan dengan itu, Amirul Hadi mengatakan sebagai berikut:
Secara prinsip, nilai-nilai HAM yang dikembangkan oleh dunia modern yang global dewasa ini mengacu kepada konsep barat yang berlandaskan tradisi Judeo-Christian. Ini bermakna bahwa secara substansi konsep HAM yang ditawarkan adalah sempit dan terbatas, dengan menafikan realitas kultural dunia lain-terutama dunia ketiga. Dalam konteks inilah status universal HAM yang dikembangkan oleh dunia barat dewasa ini dianggap tidak fair dan bahkan dicermati sebagai upaya pelestarian dominasi barat di dunia Internasional atau neo-imperialism. Dalam perkembangannya, konsep HAM sangat bersifat local dan merupakan respons terhadap kondisi tertentu. Disinilah kita menyaksikan bahwa pembentukan dan substansi hak-hak asasi tersebut cenderung berubah mengikuti dinamika social. Pada waktu yang sama, berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan pembaruan yang dilakukan terhadap institusi-institusi ekonomi dan social memberikan pengaruh terhadap pemahaman mengenai HAM itu sendiri.
Dalam prosesnya ada beberapa kejadian yang mengusahakan agar hak asasi ini selalu mendapat jaminan, usaha itu antara lain tertuang dalam:
a. Magna Charta (Piagam Agung, 1215), dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan Raja John dari Inggris kepada bawahannya.
b. Bill of Rigts (Undang-Undang hak, 1689), Undang-undang yang diterima Parlemen Inggris sesudah berhasil tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap raja James II, dalam kejadian berdarah (The Glorious Revolution of 1688)
c. Declaration des droit de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara, 1789), naskah yang dicetuskan pada Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap rezim lama.
d. Bill of Rights (Undang-Undang Hak), naskah yang disusun rakyat Amerika tahun 1789, dan menjadi undang-undang dasar tahun 1791.
Para pengkaji HAM mencatat bahwa kelahiran wacana HAM adalah sebagai reaksi atas tindakan despot yang yang diperankan oleh penguasa. Tindakan-tindakan tersebut pada akhirnya memunculkan kesadaran baru bagi manusia bahwa dirinya memiliki kehormatan yang harus dilindungi. Sebagai bagian dalam kehidupan bermayarakat dan bernegara, maka penegakan HAM sangat tergantung dari konsistensi lembaga Negara.
Memang, persoalan HAM bukanlah berada dalam wilayah politik, namun dalam praktik bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara Negara.
Pengadilan HAM
Pembentukan Undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan “extraordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat Internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam kitab Undang-undang hukum pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2. Terhadap perkara pelanggaran Hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus, yaitu:
a. Diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc.
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan, hanya dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.
d. Diperlukan mengenai ketentuan perlindungan saksi dan korban.
e. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluwarsa bagi pelanggaran HAM yang berat.
Sampai sekarang baru 4 pengadilan HAM yang dibentuk, yaitu pengadilan HAM pada pengadilan Negeri Surabaya, Medan, Jakarta Pusat, dan Pengadilan Negeri Makassar sebagai pelaksanaan dari pasal 45.
Secara khusus dalam UU No.26 tahun 2000 pada pasal 3 ayat (2) ditentukan bahwa untuk daerah khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah pengadilan negeri yang bersangkutan. Mengenai lingkup kewenangan absolute dari pengadilan HAM, oleh pasal 4 ditentukan bahwa pengadilan HAM mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat (sesudah berlakunya UU No.26 tahun 2000 pada tanggal 23 November 2000). Di samping menentukan tentang tempat kedudukan dari Pengadilan HAM, pasal 3 ayat (1) juga menentukan lingkup kewenangan relatif atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM, yaitu daerah hukum Pengadilan HAM meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Undang-undang pelaksanaan HAM di Indonesia
Indonesia telah mencantumkan Hak-hak asasi Manusia dalam UUD 1945, yang tersebar terutama pasal 27-31. Pengaturan hak asasi manusia tidak lengkap dan singkat, dikarenakan UUD 1945 dibuat beberapa tahun sebelum pernyataan Hak-hak asasi manusia diterima oleh PBB. Dalam UUD 1945 dan UUDS 1950, masalah HAM ditambah dan diperlengkap. Dalam UUD 1949 tersebut ternyata masalah Hak asasi manusia tersurat paling lengkap karena sudah mengakomodasi keputusan UNO itu ke dalam Piagam Konstitusi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, betapa gampangnya suatu UUD diselewengkan untuk kepentingan penguasa yang ambisius, pertama karena tidak lengkapnya pengaturan Hak asasi manusia. Maka sesudah G.30 S/PKI, salah satu tujuan orde baru adalah melaksanakan hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam perkembangannya pengaturan Hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam UUD 1945, berdasarkan aturan pelaksana, maka sudah banyak aturan-aturan yang mengatur tentang HAM dalam suatu peraturan-peraturan di bawahnya.
Dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang berisi tentang Hak asasi manusia dan berjumlah 106 pasal tersebut dijelaskan bahwa manusia dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan padanya kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilakunya dalam menjalani kehidupannya, kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan YME dan kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain.ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama Negara dan pemerintah. Dengan demikian, Negara dan pemerintah bertanggung jawab unutk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga Negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Oleh karena HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional, maka pelanggaran atas HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi. Untuk mendukung terwujudnya kesadaran jamak atas eksistensi HAM Indonesia, maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM.
Komisi Nasional HAM
Dalam undang-undang republik Indonesia No.26 tahun 2000 dijelaskan bahwa, ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta agar meratifikasi berbagai instrument Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak asasi manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Atas dasar perintah konstitusi dan amanat Ketetapan MPR diatas, pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah UU No.39 tahun 1999. Dalam UU ini, mengatur mengenai hak asasi manusia yang berpedoman pada Deklarasi hak asasi manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang anak, dan berbagai instrumen Internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Di samping itu, undang-undang ini mengatur pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM yang dulu pernah diatur dalam Keputusan Presiden No.50 tahun 1993. UU No.39 tersebut juga memberikan akses kepada masyarakat yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada Komnas HAM.
Pada bulan Juni 1993, melalui keputusan Presiden (Keppres) No.50, Presiden Soeharto mendirikan komnas HAM. Enam tahun kemudian DPR mengesahkan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, yang mengubah struktur dasar dan menambah kewenangan Komnas. Menurut UU no.39 tahun 1999 pasal 75, Komnas HAM bertujuan untuk:
a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, Serta Deklarasi Universal hak Asasi Manusia, dan;
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam pasal 83 UU No.39 tahun 1999 yang berjumlah 4 ayat dijelaskan bahwa:
(1) Anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
(2) Komnas HAM dipimpin oleh seorang ketua dan dua (2) orang wakil Ketua.
(3) Ketua dan wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari anggota.
(4) Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama lima (5) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Penegasan mengenai kedudukan komnas HAM dapat diketahui dari pasal I Keppres No.50 tahun 1993, yang menyatakan: “dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia, dibentuk suatu Komisi yang bersifat Nasional dan diberi nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya dalam keputusan Presiden ini disebut Komisi Nasional.” Pasal 3 menegaskan, komisi nasional bersifat mandiri. Akan tetapi, Keppres ini tidak mengatur secara tegas keanggotaan Komnas. Berdasarkan UU No.39 tahun 1999 dapat diketahui bahwa kedudukan komnas HAM adalah sebagai lembaga independen yang membantu pemerintah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, maka kedudukannya (status) dalam struktur ketatanegaraan berada pada lembaga yang membentuknya, yakni presiden dan DPR. Dilihat dari fungsi yang dijalankannya, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah public dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak. Dari fungsi tersebut Komnas HAM melakukan sebagian dari fungsi peradilan (semi judicial ) sehingga berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya tujuan dari didirikannya lembaga HAM di Indonesia dimaksudkan untuk:
a. Memperjuangkan kepentingan dari tiap-tiap individu agar terjamin keberlangsungan hidupnya.
b. Memberikan perlindungan secara konstitusional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brownlie, Ian, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, edisi kedua, UI-Press, Jakarta, 1993.
2. Davies, Peter, Hak-hak asasi manusia (sebuah bunga rampai), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994.
3. El-muhtaj, Majda,M.Hum., Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia-dari UUD 1945 sampai dengan amandemen UUD 1945 tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2009.
4. Wiyono, R,S.H., Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, kencana, Jakarta, 2006.
5. Yayasan lembaga hukum Indonesia, 1996: Tahun Kekerasan-Potret pelanggaran HAM di Indonesia, 1997
6. Huda, Ni’matul,S.H.,M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
7. Iswantoro, S.H., M.H., Diktat Kuliah Seri Ilmu Hukum: Ilmu Negara, 2009.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida