PENDAHULUAN
Pada dasarnya tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana ditentukan dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur tersebut berbagai upaya dilaksanakan oleh semua pihak termasuk perbankan nasional.
Sementara itu pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi dan moneter telah menimpa negara kita dan telah mendorong krisis pada sektor keuangan dan sektor riil yang kemudian menimpa perbankan nasional.
Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Asas yang didepankan dalam ekonomi syariah adalah keadilan atau kesetaraan hak dan kewajiban, peniadaan segala bentuk penindasan atau penggerogotan terhadap pihak lain, serta memiliki dimensi sosiologis. Pilar utama perekonomian syariah adalah perbankan syariah. Dan pada perkembangannya, Keinginan Umat Islam di Indonesia untuk menghindari riba dan melaksanakan transaksi perbankan sesuai syariah terasa mendapat tempat dan dukungan dari sisi perundang-undangan dengan munculnya undang-undang tentang system bagi hasil.
PEMBAHASAN
A. Pengertian.
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.[1]
Menurut undang-undang perbankan Nomor. 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
B. Dasar Hukum (Dalil Rujukan)
Al-baqarah ayat 275:
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
C. Tujuan Berdiri.
Ciri khas bank syariah yaitu tidak menerima atau membebani bunga kepada nasabah, akan tetapi menerima atau membebankan bagi hasil serta imbalan lain sesuai dengan akad-akad yang diperjanjikan. Konsep dasar bank syariah didasarkan pada al-Qur’an dan hadist. Dan tujuan didirikannya perbankan syariah adalah untuk meminimalisir prinsip riba yang berlaku pada beberapa bank konvensional dengan opsi lain yang sesuai dengan kaidah dan isi Al-Qur’an dan hadist Rasulullah Saw.
d. Perbedaan Perbankan Syariah Dengan Perbankan Berbasis Bunga.
Bank syariah | Bank berbasis bunga |
Kegiatan usaha berkarakter bagi hasil dan non bagi hasil (dual system banking) | Kegiatan usaha bank berkarakter membungakan uang. |
Beberapa akad digunakan: i. Bentuk simpanan (tabungan, giro, dan deposito) dengan akad mudharabah dan wadi’ah. ii. Bentuk penyaluran dana dengan: a. Prinsip jual beli dengan akad murabahah, isthisna atau salam. b. Prinsip bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah. c. Prinsip sewa menyewa dengan akad ijarah dan ijarah muntahiyah bit tamlik. d. Pinjam meminjam dengan akad qardh iii. Bentuk pelayanan jasa dengan akad wakalah, hawalah, kafalah dan rahn. | Beberapa perjanjian digunakan: i. Bentuk simpanan dengan perjanjian penabungan, giro, dan deposito. ii. Bentuk penyaluran dana dengan perjanjian pinjam-meminjam/kredit perbankan dan berbagai macam produk derivatnya. |
Hubungan dengan nasabah dalam hubungan kemitraan. | Rentan dalam mewujudkan hubungan kemitraan. |
Pengawasan kegiatan usaha dilakukan oleh dewan pengawas syariah dan bank Indonesia. | Pengawasan dilakukan oleh bank Indonesia. |
Produk atau jasa yang dikeluarkan oleh bank melalui kajian bank Indonesia dengan mempertimbangkan fatwa dewan syariah nasional. | Produk atau jasa melalui kajian bank Indonesia. |
Kegiatan usaha tidak bersifat gharar( spekulasi ) dan maisir ( rusak ). | Dapat menjalankan transaksi yang bersifat spekulatif yang tidak terkait secara langsung dengan produktifitas di sektor riil. |
Kegiatan usaha bersifat tawazun, yakni meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. | Kegiatan usaha bersifat mencari keuntungan semata sehingga dapat memarjinalkan sektor riil, sosial, lingkungan hidup dan menimbulkan kemudharatan. |
Contoh kasus
Bank syariah | Bank konvensional |
Bapak A memiliki deposito nominal Rp = 10.000.000,00 Jangka waktu = 1 bulan ( 1 januari-1 februari 2013) Nisbah = deposan 57 % : bank 43 % | Bapak B memiliki deposito nominal = Rp 10.000.000,00 Jangka waktu satu bulan (1 januari – 1 februari 2013) Bunga = 20 % p.a |
Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam satu bulan sebesar rp. 30.000.000,00 dan rata-rata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950.000.000,00 | |
Pertanyaan : berapa keuntungan yang diperoleh bapak A? | Berapa bunga yang diperoleh bapak B? |
Jawab : Rp (10.000.000,00 : 950.000.000,00) x Rp. 30.000.000,00 x 57 % = Rp. 180.000,00 | Jawab : Rp 10.000.000,00 x (31: 365 hari) x 20 % = Rp. 169.863,00 |
Perbedaan meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
1. Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
a. Rukun : Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/ Ijab Kabul.
b. Syarat
1) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
2) Harga barang dan jasa harus jelas.
3) Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
4) Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.
c. Lembaga Penyelesaian Sengketa
Jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak dapat tidak menyelesaikannya di peradilan, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. (Badan Arbitrase Nasional : Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia)
d. Dewan pengawas syariah (DPS)
Peran utama para ulama dalam dewan pengawas syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi syariah yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh dewan syariah nasional.[2]
Dewan pengawas syari’ah adalah meneliti dan membuat pernyataaan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang telah diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan.
Tugas lain dewan pengawas syari’ah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, dewan pengawas syari’ah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk diteliti kembali dan difatwakanoleh dewan syariah nasional.
e. Dewan Syariah Nasional (DSN)
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah di tanah air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing masing lembaga tersebut. Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang baru disyukur, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Olah karena itu, MUI sebagai payung dari kelembagaan dan organisasi keislaman tanah air, mengangggap perlu dibentuknya dewan syari’ah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.
Fungsi utama dewan syariah nasional adalah:
1) Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, model ventura dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, dewan syariah nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi dewan pengawas syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
2) Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh dewan pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan.
3) Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai DSN pada suatu lembaga keuangan syariah.
4) DSN dapat memberi teguran pada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika DSN telah menerima laporan dari dewan pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
5) DSN dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang apabila ada lembaga keuangan syariah yang tidak mengindahkan teguran yang diberikan. Seperti Bank Indonesia, dan Departemen Keu. Untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah.[3]
2. Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
3. Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:
a. Halal haramnya objek pembiayaan.
b. Tingkat kemudharatan suatu proyek bagi masyarakat luas.
c. Baik tidaknya suatu proyek berkaitan dengan tata krama dan kesopanan.
d. Kaitan proyek dengan hal-hal lain apakah bersih dari kejahatan atau tidak.
e. Apakah usaha itu berkaitan dengan industry senjata yang illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata.
f. Memojokkan atau merugikan syiar islam atau tidak.
4. Lingkungan kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Antara lain dalam hal etika (amanah dan shiddiq), cara berpakaian dan tingkah laku, akhlakul karimah dalam menghadapi nasabah maupun rekan kerjanya, skill full dan professional, mampu mengerjakan tugas team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi, selain itu pula dalam hal reward and punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
1. Latar belakang Bank Syariah
Berkembangnya bank-bank berdasarkan prinsip non ribawi di negara-negara islam berpengaruh ke Indonesia. Masyarakat muslim Indonesia di era 1970-an telah diliputi pengharapan untuk dapat melakukan transaksi berbasis syariah. Awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi islam mulai dilakukan. Organisasi masyakarat islam yang berpengaruh di Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang membahas masalah riba. Kedua organisasi masyarakat islam tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama.
Menurut Dawam Rahardjo dalam Muhammad Syafi’I Antonio, Bahwa majlis tarjih muhammadiyah telah mengambil keputusan mengenai hukum perbankan (1968 & 1972) yang pada pokoknya menentukan hukum riba hukumnya haram. Menurut Rifyal Ka’bah dalam Muhammad Syafi’I Antonio, [4] bahwa seungguhnya Lajnah Bahsul Masa’il NU juga memutuskan masalah bank dan pembungaan uang melalui beberapa kali sidang. Adapun isi keputusan tersebut pada pokoknya menetapkan dengan sikap yang lebih berhati-hati bahwa bunga bank adalah haram. Keputusan lajnah Bahsul masa’il yang lebih lengkap tentang masalah bank ditetapkan pada sidang di Bandar Lampung (1982). Dari keputusan tersebut, lajnah perlu mencari jalan keluar menentukan system perbankan yang sesuai dengan hukum islam, antara lain menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan system tanpa bunga.
Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis ulama indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus tahun 1990 menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Munas IV MUI yang berlangsung di hotel Sahid Raya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah baitut Tamwil Salman Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Dengan hadirnya lembaga keuangan yang menerapkan konsep bagi hasil ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kegiatan ekonomi yang tidak berbasis bunga (non ribawi).[5]
2. PT Bank Muamalat Indonesia (BMI)
Bank muamalat indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI tersebut di atas. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp. 84 Milliar.
Pada tanggal 3 november 1991, dalam acara silaturahmi presiden di istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp. 106. 126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, BMI mulai beroperasi. Hingga september 1999, BMI telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar.[6]
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariat ini hanya dikategorikan sebagai “Bank dengan sistem bagi hasil”; tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka.
Kehadiran bank Syariah yang pertama yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. Pada tahun 1992 merupakan awal sejarah pertumbuhan bank syariah di Indonesia. Pembukaan PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. Diupayakan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki produk dan jasa yang tidak berbasis bunga, serta tidak merupakan kegiatan yang bersifat spekulatif maupun tidak melakukan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan kebersamaan.
Oleh karena itu, perbankan Syariah dalam menjalankan kegiatan operasionalnya berkewajiban untuk memadukan nilai-nilai dan penormaan dalam syariah Islam dalam transaksi kegiatan ekonomi yang menuju kesejahteraan bagi masyarakat.
3. Era Reformasi dan Perbankan Syariah
Tahun | Keterangan |
1990 | Lokakarya MUI untuk mendirikan bank syariah |
1992 | Dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang mengatur bunga dan bagi hasil (dual banking system) |
1998 | Dikeluarkannya UU No. 10 tahun 1998 yang mengatur bank beroperasi secara ganda (dual system bank) |
1999 | UU No. 23 tahun 1999 yang mengatur kebijakan moneter didasarkan pada prinsip syariah |
2001 | Keluarnya peraturan Bank Indonesia yang mengatur kelembagaan dan kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah. |
2008 | UU No. 21 Tahun 2008 yang mengatur perbankan syariah. |
4. Peraturan hukum terkait dengan bank syariah
a. UU No.7 Tahun 1992
Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memposisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardhatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.
Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.
b. UU No.10 Tahun 1998
Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:
1) Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2) Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK (Bank Umum Konvensional) untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
.
c. UU No.23 Tahun 2003
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank system.
d. UU No.21 Tahun 2008
Beberapa aspek penting dalam UU No.21 Tahun 2008:
1) Pertama, adanya kewajiban mencantumkan kata “syariah” bagi bank syariah, kecuali bagi bank-bank syariah yang telah beroperasi sebelum berlakunya UU No.21 Tahun 2008 (pasal 5 no.4).Bagi bank umum konvensional (BUK) yang memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan mencantumkan nama syariah setelah nama bank(pasal 5 no.5).Konsekuensinya, penamaan suatu UUS pada suatu kantor cabang BUK yang saat ini kebanyakan disingkat, misalnya Bank X Syariah Cabang Kemayoran, maka harus di ubah menjadi Bank X Unit Usaha Syariah Cabang Kemayoran.
2) Kedua, adanya sanksi bagi pemegang saham pengendali yang tidak lulus fit and proper test dari BI (pasal 27).
3) Ketiga, satu-satunya pemegang fatwa syariah adalah MUI. Karena fatwa MUI harus diterjemahkan menjadi produk perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Bank Indonesia/PBI), dalam rangka penyusunan PBI, BI membentuk komite perbankan syariah yang beranggotakan unsur-unsur dari BI, Departemen agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang dan memiliki keahlian di bidang syariah (pasal 26).
4) Keempat, adanya definisi baru mengenai transaksi murabahah.
Dalam definisi lama disebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Menurut UU No.21 Tahun 2008 disebutkan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Diubahnya kata “jual beli” dengan kata “pembiayaan”, secara implisit UU No.21 Tahun 2008 ini ingin mengatakan bahwa transaksi murabahah tidak termasuk transaksi yang dikenakan pajak sebagaimana yang kini menjadi masalah bagi bank syariah.
5. Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah
a. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
b. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
c. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
6. Dampak pertumbuhan bank syariah bagi perkembangan bisnis syariah lainnya
Dampak banyaknya bermunculan bank syariah di Indonesia mulai dari bank umum, unit usaha syariah, sampai akuisisi saham, merangsang pertumbuhan bisnis-bisnis syari’ah lainnya. Karena pandangan masyarakat akan bisnis syariah lebih menguntungkan. Walaupun return yang didapatkan lebih kecil dibanding bisnis konvensional namun bisnis syariah tetap bertahan ditengah krisis global seperti sekarang ini. Beberapa bisnis syariah yang mulai berkembang sekarang ini selain bank syariah diantaranya asuransi syariah, BPRS, dan BMT. Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang prinsip syariah mulai meluas, dan kepercayaan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terhadap bisnis syariah memberikan dampak positif bagi perkembangan bisnis-bisnis syariah.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bahan syariah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh bank indonesia dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung dengan DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.[7]
7. Prinsip-prinsip dasar Perbankan Syariah
a. Al Wadi’ah (Titipan atau syariah)
b. Profit and sharing (Bagi Hasil)
- Musyarakah
- Mudharabah
- Muzaraah
- Musaqah
c. Jual beli (sale and purchase)
- Bai al murabahah
- Bai as salam
- Bai al isthisna
d. Sewa (operational lease and financial lease)
- Ijarah
- Ijarah muntahiyah bit tamlik
e. Jasa (fee-based sistem)
- Wakalah
- Kafalah
- Hawalah
- Rahn
- Qardh
8. Sanksi administrative dan ketentuan pidana
a. Sanksi administrative
Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah memuat sanksi administrative dan ketentuan pidana bagi bank dan/atau pihak lain yang melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut. Pengaturan sanksi administrative dan saksi pidana adalah dalam rangka mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh bank Indonesia dalam pengelolaan perbankan nasional yang bersifat transparan dan mengandung kepastian hukum.
Bank Indonesia menetapkan sanksi administrative kepada bank syariah atau unit usaha syariah, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah, direksi, dan/atau pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah, yang menghalangi dan /atau tidak melaksanakan prinsip syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya, atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Penerapan sanksi administrative tersebut pada dasarnya dikenakan terhadap anggota komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administrative dikenakan secara kolektif apabila kesalahan tersebut dilakukan secara kolektif.[8]
Bank Indonesia mengenakan sanksi administrative kepada bank syariah atau unit usaha syariah, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah, direksi, dan/atau pegawai bank syariah atau bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah yang melanggar ketentuan kerahasiaan bank sebagaimana diatur dalam pasal 41 dan pasal 44 undang-undang perbankan syariah. [9]
Pengaturan sanksi administrative sebagaimana dimaksud dalam undang-undang perbankan syariah pasal 58 ayat (1) adalah sebagai berikut:
1) Denda uang;
2) Teguran tertulis;
3) Penurunan tingkat kesehatan bank syariah dan unit usaha syariah;
4) Pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
5) Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank syariah dan unit usaha syariah secara keseluruhan;
a) Pemberhentian pengurus bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai RUPS mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan bank Indonesia;
b) Pencantuman anggota pengurus, pegawai dan pemegang saham bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah dalam daftar orang tercela di bidang perbankan, dan/atau;
c) Pencabutan izin usaha.
b. Ketentuan pidana
Adapun tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sebagai berikut:
1) Perihal perizinan usaha bank.
2) Perihal rahasia bank.
3) Kewajiban bank terhadap bank Indonesia.
4) Kewajiban pengurus Bank.
5) Kewajiban pihak terafiliasi
KESIMPULAN
Pasca krisis moneter (1997-1998), perbankan syariah mulai menjadi sistem perbankan alternatif di indonesia – kendati bank syariah telah berdiri di Indonesia sejak 1992 – sebagai antitesis sistem perbankan konvensional yang goyah ketika krisis moneter. Dalam kurun waktu satu dekade, perbankan syariah mengalami perkembangan yang mengesankan dan signifikan.
Perbankan syariah atau perbankan islam dikembangkan berdasar hukum islam yang bertolak dari larangan untuk tidak memungut maupun meminjam uang dengan tambahan bunga (riba), serta larangan berinvestasi pada usaha yang dikategorikan haram – dimana hal ini tidak dijamin dalam sistem perbankan konvensional.
Prinsip hukum perbankan syariah ditimbang akan melahirkan keseimbangan sistem ekonomi karena dihilangkannya antara lain unsur gharar (spekulasi atau ketidakpastian) umpamanya. Disini pemberi dana di samping turut berbagai keuntungan juga ikut berbagi kerugian. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan lagi komoditas, karena tidak dianggap memiliki nilai instrinsik.
Berikut perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional.
Parameter | Bank Syariah | Bank Konvensional |
Landasan hukum | UU Perbankan dan Landasan Syariah | UU Perbankan |
Return | Bagi hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee | Bunga, komisi/fee |
Hubungan dengan nasabah | Kemitraan, Investor-investor, investor-pengusaha | Debitur-kreditur |
Fungsi dan kegiatan Bank | Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan | Intermediasi, jasa keuangan |
Prinsip dasar operasi | Anti riba dan anti maysir | Tidak anti riba dan maysir |
Prioritas pelayanan | 1. Tidakbebas nilai (prinsip syariah Islam) 2. Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi 3. Bagi hasil, jual beli, sewa | 1. Bebas nilai (prinsip materialis) 2. Uang sebagai komoditi 3. Bunga |
Orientasi | Kepentingan public | Kepentingan pribadi |
Bentuk usaha | Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan | Keuntungan |
Evaluasi nasabah | Bank komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi purpose | Bank komersial |
Hubungan nasabah | Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko | Kepastian pengembalian pokok dan bunga |
Suber likuiditas jangka pendek | Erat sebagai mitra usaha | Terbatas debitur-kreditur |
Pinjaman yang diberikan | Terbatas | Pasar uang, bank sentral |
Prinsip usaha | Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba | Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba |
Pengelolaan dana | Pasiva ke Aktiva | Aktiva ke Pasiva |
Lembaga penyelesaian sengketa | Pengadilan, arbitrase | Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional |
Risiko Investasi | 1. Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran 2. Tidak mungkin terjadi negative spread | 1. Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank 2. Kemungkinan terjadi negative spread |
Monitoring pembiayaan/Kredit | Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah | Terbatas pada administrasi |
Struktur Organisasi Pengawas | Dewan komisaris, Dewan Pengwas Syariah, Dewan Syaraiah Nasional | Dewan komisaris |
Criteria pembiayaan | Bankable, Halal | Bankable, Halal atau haram |
DAFTAR PUSTAKA.
Muhammad Syafi’i Antonio. 2003. Islamic banking (Bank Syariah dari teori ke praktik),Jakarta: Gema Insani Press.
Drs. Ismail, MBA., Ak., 2011. Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dra Jundiani, S.H., M. Hum. 2009,Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Malang: UIN - Malang Press.
Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2008.
http://mahjiajie.wordpress.com/2011/07/23/makalah-tentang-bank-syariah/
[2]Pembahasan lebih lanjut tentang tugas dan fungsi DPS pada lembaga keuangan islam internasional, lihat AAOIFI, Accounting and auditing and governance standards for islamic financial institution.
[3]Bank Indonesia, petunjuk pelaksanaan pembukaan kantor bank syariah (Jakarta: Bank Indonesia, 1999).
[4]Muhammad Syafi’I Antonio, bank syariah bagi banker dan praktisi keuangan (Jakarta: Gema insani Press, 1999), hlm. 62. Selanjutnya disebut Muhammad Syafi’I Antonio II.
[7]Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah (Jakarta: Bank Indonesia, 1999)
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida