EKSEPSI DALAM GUGATAN

Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan

IDENTITAS DALAM GUGATAN

1.    Bahwa dijelaskan oleh M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan hlm. 53-54 “… tentang penyebutan identitas dalam gugatan, sangat sederhana sekali. Tidak seperti yang disyaratkan dalam surat dakwaan perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP (meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka). Tidak seluas itu syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatan.”

2.    Bahwa bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR, menjelaskan bahwa “identitas yang harus dicantumkan cukup memadai sebagai dasar untuk menyampaikan panggilan, atau menyampaikan pemberitahuan”. Dengan demikian oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi nama lengkap dan alamat atau tempat tinggal.

3.    Bahwa penyebutan identitas lain adalah bersifat tidak imperative. Penerapan pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil gugatan perdata yang demikian merupakan pemerkosaan hukum bagi penggugat, karena tidak mudah untuk mengetahui dan memperoleh data umur dan tanggal lahir.

4.    Bahwa memperhatikan kesulitan itu, tepat dan beralasan aturan yang mencukupkan pencantuman identitas tergugat atau para pihak sebatas penyebutan nama lengkap dengan jelas, alamat tempat tinggal / tempat kediaman pokok atau tambahan.

5.    Bahwa dengan demikian, maksud dari pasal 118 ayat (1) HIR, mengenai pencantuman identitas untuk menyampaikan panggilan, atau menyampaikan pemberitahuan telah tersampaikan kepada seluruh pihak, mengingat para Tergugat hadir dan menerima pemberitahuan pelaksanaan sidang atas perkara a quo/ gugatan Penggugat.

GUGATAN KURANG PIHAK
(Plurium Litis Consortium)

6.    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia  No. 305 K/Sip/1971 tanggal 16 Juni 1971 dalam pertimbangannya sebagai berikut : “Bahwa hanya Penggugatlah yang berwenang untuk menentukan siapa-siapa yang digugatnya”.

7.    Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 No. 546 K/Sip/1970, bahwa dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara.

8.    Bahwa berdasar pada Yurisprudensi Nomor: 1816/K/Pdt/1989 dan Buku Hukum Acara Perdata karangan Yahya Harahap hlm. 117, menyatakan bahwa yang berhak menentukan siapa-siapa saja yang akan digugat adalah hak dari Penggugat yang atas dasar siapa yang dianggap mempunyai peran dan atau hubungan dengan pembuktian atau penyebab kerugian bagi Penggugat.

9.    Bahwa dijelaskan oleh Moh. Taufik Makarao, S.H., M.H. dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata” (hal. 8) bahwa dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah berperkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya. (lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 No. 546 K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh Mahkamah agung Republik Indonesia, diterbitkan tahun 1971, halaman 374-red).

10.  Bahwa menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, hlm. 111, menjelaskan bahwa cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan bertindak sebagai penggugat yang dikualifikasi mengandung error in persona, yakni : diskualifikasi in person (penggugat tidak memenuhi syarat/tidak cakap), salah sasaran pihak yang digugat/gemis aanhoeda nigheid, gugatan kurang pihak.

EKSEPSI GUGATAN KABUR
 (Obcuur Libel )

11.  Bahwa gugatan Penggugat adalah jelas, tegas dan terang tidak kabur (Obscuur Libel; penulisan yang benar). Gugatan dianggap tidak jelas apabila Penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk). Misalnya apabila antara Posita gugatan dan Petitum tidak sinkron, tidak tegas apa yang dituntut, tidak jelas mengenai duduk persoalannya. Dari uraian eksepsi tampak Tergugat IV tidak memahami tentang eksepsi Obscuur Libel.

12. Bahwa Menurut M. Yahya Harahap dalam Bukunya, suatu gugatan dapat dikatakan kabur (Obscuur Libel) dikarenakan sebagai berikut :

a.    Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari gugatan;
b.     Tidak jelas objek yang disengketakan;
c.     Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri;
d.     Terdapat saling bertentangan antara posita dengan petitum
e.     Petitum tidak terinci, tetapi hanya berupa ex aquo et bono.

GUGATAN PENGGUGAT PREMATEUR (EXCEPTIO DILATORIA).

PENGGUGAT BUKAN PEMILIK YANG SYAH ATAS OBJEK SENGKETA (EXCEPTIO DOMINI).


PROVISI

13.  Putusan MA RI No. 1070k /Sip / 1972, tgl. 7 Mei 1973, “Tuntutan provisionil yang tercantum dalam pasal 180 HIR hanyalah untuk memperoleh tindakan-tindakan sementara selama proses berjalan.

14.  Pasal 185 HIR menjelaskan bahwa putusan provisionil yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak.

15.  Putusan Provisional dalam arbitrase dapat ditemukan juga di dalam Pasal 32 ayat (1) UU 30/1999: “Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.”

16.  Pasal 180 Ayat (1) HIR, Pasal 191 RBg, menjelaskan kebolehan dimintakannya Putusan Provisi, yakni: “Pengadilan negeri boleh memerintahkan supaya keputusan dijalankan dahulu, walaupun keputusan itu dibantah atau diminta banding, jika ada surat  yang sah, satu surat tulisan, yang menurut peraturan  yang laku untuk  hal itu berkekuatan bukti, atau jika ada hukuman dahulu, dengan keputusan, yang sudah medapat kekuatan keputusan pasti, demikian juga jikalau tuntutan sementara dikabulkan, tambahan pula dalam perselisihan hak milik”.

LARANGAN PEMISAHAN EKSEPSI DAN JAWABAN

17.  Bahwa dalam Pasal 136 HIR menyebutkan:

Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.

18.  Bahwa dari Pasal 136 HIR terdapat pendapat dari Mr. R Tresna  dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R." pada pasal 136 ini memberikan penjelasan bahwa dalam hal ini ada perbedaan sistem acara perdata di muka "Raad van Justitie" dahulu: Pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut  menentukan bahwa "procureur" dari tergugat diwajibkan mengajukan sekalian segala eksepsi-eksepsi dan jawaban yang mengenai pokok gugatan, apabila tidak, maka gugurlah eksepsi-eksepsi yang tidak sekalian diajukannya dan jikalau tidak sekalian mengajukan jawaban yang mengenai pokok gugatan, maka apabila eksepsinya ditolak, gugurlah hak untuk mengajukan jawaban itu.



Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida