Pasal tentang Nafkah Mut'ah Iddah Kiswah


1.    Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 Ayat 2,

“Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”

2.    ”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq : 7]

3.    "Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut". [Al Baqarah : 236].

4.    "Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya". [Al-Baqarah : 286]

5.    pendapat Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar di dalam buku Ahkamuz Zawaj, halaman 282 yang menyatakan bahwa:

Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.

6.    Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 608 K/AG/2003 tanggal 23 Maret 2005 telah melahirkan tiga kaidah hukum. Salah satu kaidah hukum yang patut dikaji adalah kaidah hukum berkenaan dengan nafkah madliyah (lampau) anak yang tidak terbayarkan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan:

“Bahwa kewajiban seorang ayah memberikan nafkah kepada anaknya adalah lil intifa’bukan li tamlik, maka kelalaian seorang ayah yang tidak memberikan nafkah kepada anaknya (nafkah madliyah anak) tidak bisa digugat”

7.    Bahwa Kata lil intifa’dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut kemudian coba dimaknai oleh hakim tingkat banding, antara lain melalui Putusan Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia Al Munawir, Yogyakarta: Pondok  Pesantren Al Munawir Krapyak, 1984, h. 1455-1456, 1547; lihat pula pertimbangan Majelis Hakim Banding pada Putusan Nomor 132/Pdt.G/2009/PTA.Sby tanggal 29 Mei 2009, h. 4. PTA Surabaya Nomor 79/Pdt.G/2010/PTA.Sby tanggal 30 Maret 2010 dengan mengemukakan:

“...kewajiban orang tua/ayah untuk membayar nafkah madliyah (yang lampau) anak adalah untuk memenuhi kebutuhan anak, sedangkan kebutuhan nafkah yang lampau itu telah terpenuhi, maka gugurlah kewajiban memberi nafkah madliyah anak itu.

8.    Sejalan dengan pendapat pakar hukum Islam dalam kitab Al Fiqhi Al Islamiyu Wa Adillatuhu karya Wahbah Al Zuhaily Juz VII Halaman 829 yang dalam hal ini diambil alih menjadi pendapatPengadilan Tinggi Agama dalam pertimbangan putusan perkara ini sebagai berikut: Menurut Fuqaha, nafkah anak menjadi gugur dengan telah lampaunya masa, karena bukan pemilikan/littamlik dan bukan merupakan utang”.

9.    Kompilasi Hukum Islam Pasal 84 menyebutkan bahwa:
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

10.  Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah serta tempat tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu, seperti: Asy Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur.

11.  Bahwa di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 ayat menjelaskan bahwa:
-       (4) sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
-       (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
-       (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
-       (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

12.  KHI Pasal 84: (1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.



Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida