Pengaturan Harta Bersama dalam Hukum


1.    Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan bahwa, “mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.”, dan atas ketiadaan tanda tangan yang merupakan persetujuan suami, maka perbuatan hukum yang dilakukan istri tsb adalah tidak syah.

2. Bahwa berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, “terhitung sejak perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta diantara keduanya”.

3.    Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 5 Mei 1971 Nomor : 803 K / Sip / 1970 yang menyatakan “ Harta yang dibeli oleh suami atau isteri adalah harta bersama suami isteri, jika pembelian itu dilaksanakan selama perkawinan”.

4. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab VII mengenai harta benda dalam perkawinan menjelaskan bahwa, “harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

5. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 1972 Nomor : 454 K / Sip / 1970 tanggal 11 maret 1971 yang menyatakan “ bahwa segala penghasilan pribadi suami isteri, baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing- masing pribadi sebagai pegawai, jatuh menjadi harta bersama suami isteri”.

6.    Hal tersebut dikuatkan dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :“Suami istri dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak”.

7.    Selanjutnya Putusan Mahkamah Agung No. Reg: 2691 PK/Pdt/1996 yang menyatakan bahwa, “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus mendapat persetujuan suami isteri.

8.    Pasal 92 KHI yang berbunyi: “Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.”

9.    Bahwa kedudukan Istri/ perempuan yang telah menikah adalah kurang cakap, atau di bawah pengampuan yang membutuhkan persetujuan daripada Suami seperti yang tercantum jelas di dalam Pasal 1330 KUHPerd ayat (3) yang menyatakan: “Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh Undang-Undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu”.

10.  Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang  Pengadilan Agama dan pasal 88 kompilasi hukum Islam akibat putusnya perkawinan tersebut maka harta-harta yang diperoleh selama masa perkawinan haruslah di bagi secara adil dan merata masing-masing mendapatkan seperdua (1/2) dari harta tersebut.

11.  Bahwa dalam pasal 50 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 sebagai amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.”

12.  Bahwa selanjutnya, dijelaskan dalam Pasal 49 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, ... “

13.  Bahwa dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud dengan “Perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku menurut Syariah, salah satunya mengenai penyelesaian harta bersama.  Sehingga gugatan ini merupakan kewenangan Peradilan Agama.

14.  Bahwa menurut Pasal 49 dan 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tersebut, secara jelas telah terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat adalah muslim/beragama islam, dan perkara ini merupakan akibat dari putusnya perkawinan sehingga oleh karenanya perkara ini merupakan kewenangan penuh Peradilan Agama.

15.  pasal 37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”.

16.   Bahwa oleh karena Penggugat dan Tergugat beragama islam, Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang  Pengadilan Agama dan pasal 88 kompilasi hukum Islam memperjelas aturan mengenai pembagian harta bersama yakni sebagai berikut: “akibat putusnya perkawinan tersebut maka harta-harta yang diperoleh selama masa perkawinan haruslah di bagi secara adil dan merata masing-masing mendapatkan seperdua (1/2) dari harta tersebut.

17.  Bahwa selanjutnya, Pasal 97 KHI menyatakan bahwa :“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

18.  Pasal 95 ayat (1) KHI yang berbunyi : “Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.


19.   

Tidak ada komentar

Terima kasih telah berkunjung.

Latifa Mustafida