1. Pada Prinsipnya berlaku pewarisan tanpa wasiat. (Pasal 874 BW) yakni : “Segala harta peninggalan seseorg yg meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.”
2. Prinsip Harus ada Kematian. Tidak ada pewarisan tanpa didahului dengan kematian (Pasal 830 BW) : “Pewarisan hanya terjadi karena kematian”. Ini berarti tidak ada pewarisan tanpa didahului dgn kematian. Oleh karena itu warisan tdk dapat dituntut oleh Ahli warisnya selama pewaris masih hidup.
3. Prinsip keberadaan ahli waris, artinya org sudah harus ada pada saat warisan terbuka, kecuali anak yang berada dalam kandungan. “Apabila beberapa orang antara mana yang satu adalah untuk menjadi waris yang lain, karena satu malapetaka yang sama atau pada hari yang sama telah menemui ajalnya, dengan tidak dapat diketahui siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada detik saat yang sama, dan perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidaklah berlangsung karenanya.” (Pasal 831 KUHPerd)
4. Prinsip Genealogis, yaitu yang pertama-tama berhak atas harta warisan adalah keluarga terdekat. (Pasal 832 BW) “Menurut undang-undang, yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun tidak sah, maupun yang di luar kawin, dan suami atau isteri yang hidup terlama.
5. Azas Saisine adalah bahwa ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu juga bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu. Ini berarti ahli waris melanjutkan kedudukan Hak Pewaris (Pasal 833 : 1 BW) “Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang orang yang meninggal.” Pasal ini memperkuat sistem hukum waris seperti yg terlihat dalam Psl 874 BW.
6. Prinsip individualistis, yaitu ahli waris dapat menuntut pembagian warisan untuk mencegah adanya benda yang tersingkir akibat pengadilan hukum.
Hal ini tergambar dalam hak yang diberikan kepada ahli waris, yaitu :
7. Hak Hereditatis petitio, (yaitu ahli waris berhak mengajukan tuntutan hukum sehubungan dgn kedudukannya sebagai ahli waris kpd pihak ketiga baik yang juga sbg ahli waris maupun bukan yg menguasai sebagian warisan tanpa hak.) yang diatur dalam Pasal 834 BW, yaitu : “Ahli waris berhak mengajukan gugatan utk memperoleh warisannya terhdp semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dgn alas hak apa pun ada dlm warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturanperaturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.”
8. Yang diatur dalam Pasal 1066 BW, yang berbunyi sebagai berikut : Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan di wajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tdk terbagi. Pemisahan harta peninggalan itu setiap waktu dapat dituntut, meskipun ada ketentuan yg bertentangan dgn itu. Akan tetapi dpt diada-kan persetujuan utk tdk melaksanakan pemisahan harta peninggalan itu selama wkt tertentu. Perjanjian demikian hanya mengikat utk lima tahun, tetapi tiap kali lewat jangka waktu itu perjanjian itu dapat diperbarui. Jadi berdasarkan psl ini tiap ahli waris berhak menuntut diadakannya pembagi- an harta warisan. Tujuan penetapan prinsip ini adalah utk mencegah adanya benda-benda yang tersingkit dari pergaulan hukum.
9. Prinsip Penggantian atau Azas Substitusi, bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, hak mewarisnya dapat diganti oleh keturunannya.
Prinsip ini dapat dijabaran dalam Pasal-Pasal tentang Penggantian, yaitu Pasal 841 - 845 BW. Pada Pasal 841 BW, bahwa : “Penggantian memberikan hak kpd orang yg mengganti untuk bertindak sbg pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.” (Pasal 842 BW è Penggantian boleh pada ahli waris golongan 1; Pasal 843 BW è Penggantian tidak boleh pada ahli waris golongan 3 dan 4; Pasal 844 & 845 BW è Penggantian boleh pada ahli waris golongan 2 )/
10. Prinsip Kesamaan Hak dalam pewarisan antara jenis kelamin, maksudnya tidak ada pembedaan jenis kelamin pada pembagian warisan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 852 BW, yaitu :
11. Prinsip Ahli waris dalam garis lurus tidak dapat dicabut hak mewarisnya oleh pewaris. Prinsip ini dijabarkan dalam ketentuan Pasal 913 s/d 929 BW, yg mengatur ttg bgn mutlak atau bgn legitim anak serta keturunan mereka.
12. Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat. (Pasal 913 BW)
13. Bagian Legitim ahli waris dalam golongan 1, yaitu : (Pasal 914 BW)
- apabila 1 orang anak, adalah 1/2 dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian.
- apabila 2 orang anak, maka bgn masing2 anak adalah 2/3 bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
- apabila 3 orang anak atau lebih, adalah 3/4 bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
è Dlm garis ke atas, legitieme portie itu selalu sebesar 1/2 dari apa yg menurut UU menjadi bgn tiap2 keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian (Pasal 915 BW).
è Bagian Legitieme portie anak Luar kawin yang diakui sah, adalah :
½ dari bagian yang oleh UU sedianya diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian. (Pasal 916 BW).
KOMPILASI HUKUM ISLAM
1. Hukum kewarisan adalah hokum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan lain (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. (Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam huruf a);
2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragam islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam huruf b);
3. Ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris. (Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam huruf c);
4. Harta warisan adalah harta bwaan ditambah bagian dari harta bersama seteah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam huruf e);
5. Menurut Pendapat Drs. H.M. Anshary MK, dalam bukunya yang berjudul Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, hlm. 8, menerangkan bahwa “Penyelesaian sengketa kewarisan tergantung kepada agama si pewaris. Apabila pewaris beragama Islam, maka sengketa kewarisan diantara para ahli warisnya harus diselesaikan menurut hukum kewarisan islam dan dengan sendirinya merupakan kompetensi Absolut Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah”.
6. Pendapat Drs. H. M. Anshary MK, dalam bukunya Hukum Kewarisan Islam dalam Teori dan Praktik, hlm. 11, “… yang dikatakan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pada saat pewaris meninggal dunia, masih bercampur antara harta bersama bagian pewaris dengan bagian pasangan yang hidup lebih lama, masih tergabung pula dengan harta wasiat, masih tergabung dengan biaya pengurusan mayat, biaya-biaya untuk pelunasan utang-utang pewaris”.
BAGIAN AHLI WARIS
7. “… pada saat menentukan harta warisan maka hak-hak dari pasangan yang hidup terlama, atau utang-utang pewaris, wasiat bila ada, terlebih dahulu dikeluarkan, sesuai dengan kehendak yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 32K/AG/200 tanggal 20 April 2005.”
8. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. (Pasal 181 Kompilasi Hukum Islam) ;
9. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. (Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam) ;
CARA PEMBAGIAN WARIS
10. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. (Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam);
11. Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan. (Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam);
12. Pasal 834 KUHPerdata “Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan
13. Pasal 834 KUHPerdata “Mengatur bahwa ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya.(besit = penguasaan)
14. Pasal 1365 KUHPer jo. Pasal 834 KUHPer telah memberikan para ahli waris dasar untuk meminta kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan gugatan untuk meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta peninggalan beserta segala hasil, pendapatan, dan anti rugi.
15. Pasal 874 KUH Perdata “Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan Surat Wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah”.
WASIAT / TESTAMENT
16. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. (Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam huruf f);
17. Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUHPerdata).
18. Pasal 194 Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam, “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.”
19. Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris; wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui; wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris; pernyataan persetujuan pada ayat 2 an 3 pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris. (Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam);
20. Pasal 201 Kompilasi Hukum Islam : “Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan”.
21. Pasal 196 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa, dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
22. Pada prinsipnya, wasiat terhadap ahli waris adalah tidak diperbolehkan (karena telah ada bagian yang diatur khusus dalam hukum islam) namun dikatakan, wasiat dan hibah dari seorang suami terhadap isterinya, dari ayah terhadap anak-anaknya yang terhadap anaknya merupakan gambaran pemenuhan rasa keadilan, sesuai pendapat Prof. Dr. Hazairin, SH., dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, halaman 57 (Al-quran 2 : 180)yang berbunyi dengan syarat “in taraka khairan” dan “bil ma’ruf”, yaitu “apalagi yang lebih makruf daripada pembagian yang telah diatur sendiri oleh Allah secara umum”.
ANAK ANGKAT / ORANG TUA ANGKAT
23. Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. (Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam huruf h);
24. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.(Pasal 209 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam).
25. Pengangkatan anak, dalam Kitab Ibnu Katsir dijelaskan sebagai berikut “Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak itu memiliki dua orang ayah.”
26. Bahwa menurut pendapat M. Budiarto dalam bukunya yang berjudul Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi hokum, Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
27. Dari perspektif fiqh, Wasiat wajibahadalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.
28. Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai kuasa atau aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa wasiat wajibah itu adalah seorang yang meninggal, baik ia wasiat atau pun tidak berwasiat maka ia dianggap wasiat menurut hukum menurut orang tertentu.
29. Menurut pendapat Habiburrahman, dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Dalam fikih Islam, wasiat wajibah umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal, yang di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris, tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh. Namun di sisi yang lain, keempat imam mazhab mengharamkannya jika hal itu akan memberikan madharat bagi ahli waris.
SURAT KETERANGAN WARIS
30. Surat keterangan ahli waris adalah Surat yang berfungsi untuk membuktikan siapa-siapa saja yang berhak atas ahli waris yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal (pewaris) yang menjadi dasar atas pembagian harta warisan baik atas siapa yang berhak dan / atau berapa jumlah bagian yang berhak dimiliki oleh ahli waris baik berdasarkan legitime portie dan/atau berdasarkan wasiat.
31. Aturan mengenai pedoman pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris terdapat di dalam Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa yang dapat dijadikan pedoman bagi pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris adalah khusus yang berhubungan dengan barang tidak bergerak berupa tanah yang telah terdaftar atau bersertipikat.
32. Kemudian, di dalam Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang memuat ketentuan pedoman pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris dalam hal pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang menyebutkan bahwa, Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa :
1) Wasiat dari pewaris;
2) Putusan pengadilan;
3) Penetapan hakim / ketua pengadilan;
4) Bagi warga negara Indonesia penduduk asli (pribumi), surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh kepala desa / kelurahan dan camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
5) Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa akta keterangan hak mewaris dibuat oleh notaris dan
6) Bagi warga negara Indonesia keturunan timur asing lainnya surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.
GUGATAN PEMBAGIAN WARIS
33. Mengenai kekuasaan absolut mengadili suatu penadilan, berdasarkan Pasal 49b Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 (tentang Peradilan Agama) hanya berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama islam mengenai : perkawinan, kewarisa (meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam), wakaf dan shadaqah. Maka, karena pewaris dan ahli waris beragama islam dan membaginya menggunakan hukum Islam maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama.
34. Selanjutnya, mengenai kewenangan relative suatu Pengadilan untuk mengadili, patokan menentukan kewenangan mengadili merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBG / Pasal 99 RV), yakni sebagai berikut :
1) Actor sequitor Forum Rei (Actor Rei Forum Sequitor);
- Diajukan ke tempat tinggal tergugat;
- Ke salah satu tempat tinggal tergugat;
2) Actor sequitor Forum Rei dengan hak opsi :Pasal 118 ayat (2) HIR, Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh Penggugat;
3) Actor Sequitor Forum Rei tanpa hak opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal;
4) PN di daerah Hukum Tempat tinggal Penggugat; dengan syarat tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
5) Forum Rei Sitae (Tempat Barang Sengketa); Pasal 118 (3) HIR, yang berbunyi, “atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap (tidak bergerak), maka tuntutan itu ditujukan kepada ketua pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu.
6) Kompetensi Relatif berdasarkan Pemilihan Domisili; Menurut Pasal 118 HIR (4), “para pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yang berisi klausul, sepakat memilih PN tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Pencantuman klausul harus berbentuk akta tertulis.”
35. Selanjutnya, diatur dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama Buku II Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2013, halaman 168, huruf c, mengenai wasiat dan Hibah, dijelaskan : Dalam hal sengketa wasiat dan hibah, baik disebabkan oleh karena wasiat dan hibah tersebut tidak memenuhi syarat suatu perikatan atau melanggar Undang-Undang, maka Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dapat memedomani beberapa petunjuk sebagaimana diuraikan di bawah ini :
a. Gugatan pembatalan maupun pengesahan hibah dan wasiat diajukan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah hukum dimana pihak Tergugat atau salah satu Tergugat bertempat tinggal(untuk wilayah Jawa dan Madura), dan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana objek sengketa benda tetap berada atau di tempat Tergugat, bila objek sengketa berupa benda bergerak (untuk wilayah luar Jawa dan Madura).
b. Gugatan pembatalan hibah dan wasiat maupun pengesahan hibah dan wasiat harus berbentuk kontensius.
c. Ahli waris atau pihak yang berkepentingan dalam mengajukan gugatan pembatalan hibah dan wasiat, bila hibah atau wasiat melebihi 1/3 bagian dari harta benda pemberi wasiat atau pemberi hibah.
WARISAN TERBUKA
14. Apabila ada seseorang meninggal dunia, maka pada saat itu disebut warisan terbuka. Sejak saat itu harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi pemilikan bersama. Pemilikan bersama berarti tidak mungkin harta tersebut dialihkan kepada orang lain tanpa kerjasama seluruh ahli waris. Satu orang tidak turut serta dalam pemindahan hak tersebut, maka perbuatan tersebut menjadi batal.
15. Orang yang dapat memperoleh warisan ialah para ahli waris yang pada ketika itu masih hidup. Anak yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah dilahirkan dan apabila meninggal dunia sebelum atau sewaktu dilahirkan maka dianggap tidak pernah ada.
16. Menurut hukum islam, warisan harus dibagi dalam waktu singkat dan dianjurkan dalam waktu 40 hari. Prinsipnya warisan harus dibagi sebelum ada ahli waris lain yang meninggal. Hal ini semata-mata jangan ada ahli waris yang tanpa hak memakan warisan yang belum dibagi. Bila ada anak yang masih dalam kandung, pembagian warisan ditunggu sampai anak itu lahir, untuk mengetahui jenis kelaminnya.
17. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan lebih mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari pewarisan adalah:pertama, Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW); kedua, Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida