Pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, bunyi Pasal 29 (1) Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan menjadi sbb :
“Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
Bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas,
dengan demikian kini terdapat 2 jenis perjanjian perkawinan, yakni perjanjian
kawin yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) &
perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan atau selama perkawinan (postnuptial
agreement).
Dampak dari putusan tersebut tidak
hanya berlaku bagi pasangan campuran, namun juga berlaku bagi antara Warga
Negara Indonesia yang ingin membuat perjanjian kawin dalam masa perkawinan.
Artinya hal tersebut dapat merubah ketentuan yang ada mengenai harta maupun
persoalan lainnya. Meskipun dinyatakan bahwa perjanjian kawin dapat menyimpangi
peraturan mengenai harta Bersama, namun ketentuan Pasal 139 KUHPerdata
menyatakan bahwa hal tersebut tidaklah diperbolehkan bertentangan dengan tata
susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan ketentuan-ketentuan lain.
Ketentuan
mengenai harta Bersama dalam KUHPerdata diatur di Bab VI tentang Harta Bersama
Menurut Undang-Undang dan Pengurusannya, diatur dalam Pasal 119 s.d 138
KUHPerdata, sementara pengaturan perjanjian kawin termuat dalam Pasal 139 s.d 154 KUHPerdata. Apa saja yang harus
diperhatikan ? Simak lebih lanjut disini!
1. HARTA
SEBELUM PERJANJIAN TETAP MERUPAKAN HARTA BERSAMA.
Menurut
pendapat Dr. Herlien Budiono dalam bukunya yang berjudul Demikian Akta ini, hlm
93, “apabila oleh suami isteri dibuat perjanjian perkawinan sepanjang
perkawinan, … maka telah ada harta campur yang terbentuk. Dalam situasi seperti
itu tidak dapat membagi harta campur tersebut sehingga sejak saat perkawinan
hingga tanggal perjanjian perkawinan dibuat tetap merupakan harta campur,
sedangkan sejak perjanjian perkawinan terjadi pisah harta.”
Pendapat Dr. Herlien Budiono tersebut sejalan dengan
Pasal 119 KUHPerdata.[1] Selanjutnya,
menurut pendapat Dr. Herlien Budiono, diberikannya bagian dari harta Bersama kepada
salah 1 pihak lebih besar berarti menggeser harta yang diartikan sebagai hibah,
sementara Pasal 1678 KUHPerdata melarang adanya penghibahan diantara suami
isteri. Larangan tersebut juga termuat dalam Pasal 124 KUHPerdata.[2] Baca juga artikel Bolehkah Suami Hibah ke Isteri atau sebaliknya ?
Untuk mengantisipasinya, dapat dibuat daftar harta
benda yang didapatkan Bersama dalam perkawinan. Apabila daftar harta tidak tercantum
dalam minuta, maka penambahan benda di luar pengetahuan para pihak dapat
dibuktikan dengan cara lainnya yang rasional sehingga apabila terdapat
perselisihan benda yang tidak dapat dibuktikan akan menjadi hak para pihak sama
besar.
2. LARANGAN
MEMBAGI UTANG LEBIH BESAR DARI HARTA PERSATUAN.
C. Asser-J.
de Boer, Personen-en Familierecht, zestiende druk, Kluwer-Devente, 2001, hlm.
301 berpendapat bahwa “tidak dapat diperjanjikan bahwa salah 1 pihak akan
menanggung utang yang lebih besar daripada bagiannya dalam persatuan, yang
menurut Asser-De boer ketentuan tersebut batal demi hukum.” ketentuan
tersebut juga termuat dalam Pasal 142 KUHPerdata.[3]
3. LARANGAN KLAUSUL
BERSYARAT DALAM PERJANJIAN
Menurut Van
den burght dan asser-de boer, perjanjian dilarang memiliki ketentuan
bersyarat, hal tersebut haruslah dianggap perjanjian kawin tersebut batal;
4. LARANGAN
MENGGUNAKAN HUKUM ASING SEBAGAI PILIHAN HUKUM[4];
5. LARANGAN PEMBATASAN
MENGATUR HARTA BAWAAN;
Pasal 141
KUHPerdata mengatur bahwa, dalam pengaturan perjanjian kawin tidak boleh
menghilangkan bagian & atau mengatur harta bawaan / harta peninggalan dari
masing-masing pihak;
6. LARANGAN
MELEPASKAN HAK WARIS BAGI ORANG YANG MASIH HIDUP (Pasal
1063 KUHPerdata);
7. LARANGAN
PENUNJUKAN SEBAGAI AHLI WARIS DALAM KLAUSUL PERJANJIAN (Pasal
1334 KUHPerdata);
Demikian
tadi beberapa hal yang wajib diperhatikan dalam pembuatan perjanjian kawin
setelah perkawinan. Semoga bermanfaat! Baca juga artikel serupa Jenis Perjanjian Kawin
[1] Sejak saat dilangsungkannya
perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarĂ suami
isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam
perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak
boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.
[2] … dia tidak boleh memberikan harta bersama
sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak
bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian / jumlah yang tertentu &
barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir & perkawinan
mereka, untuk memberi suatu kedudukan. Bahkan dia tidak boleh menetapkan
ketentuan dengan cara hibah mengenai sesuatu barang yang khusus, bila dia
memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu.
[3] Mereka tidak boleh membuat perjanjian, bahwa
yang satu mempunyai kewajiban lebih besar dalam utang-utang daripada bagiannya
dalam keuntungan-keuntungan harta bersama.
[4] Mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan
kata-kata sepintas lalu, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh
undang-undang, kitab undang-undang luar negeri, atau oleh beberapa adat
kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang
pernah berlaku di Indonesia.
Tidak ada komentar
Terima kasih telah berkunjung.
Latifa Mustafida